This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, April 21, 2014

TERUSLAH BERJUANG RITEL TRADISIONAL

Tingginya konsumsi masyarakat dewasa ini membuat aktivitas distribusi barang ke konsumen tingkat akhir meningkat pesat. Untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, kebanyakan masyarakat memilih untuk berbelanja kebutuhan di toko-toko kelontong di dekat lingkungan tempat tinggal yang kemudian dikenal sebagai pedagang eceran atau ritel tradisional. Usaha ini biasanya dikelola oleh rumahtangga untuk mengisi waktu luang dan sedikit menambah penghasilan keluarga.
Dalam perjalanannya, ritel tradisional dianggap turut membantu pengembangan sektor UMKM nasional. Jutaan ritel tradisional turut menopang perekonomian rumahtangga di Indonesia. Share nya secara individual mungkin tidak besar, tapi sangat membantu mendukung aliran barang dan jasa ke konsumen akhir.
Tetapi fenomena kini mulai bergeser. Ritel-ritel modern telah hadir hingga ke penjuru desa. Kalangan pemodal besar mulai melirik pasar ritel untuk dikembangkan secara maju. Harapan keuntungan yang menggiurkan dengan terjun ke ritel modern mulai berkembang. Implikasinya, ritel modern tumbuh menjamur di pelosok daerah. Kalau dulu pasar modern muncul dan hegemoninya mengalahkan pasar tradisional. Kini pedagang eceran yang tradisional pun telah diserbu “pasarnya” oleh pedagang eceran modern.
Konsumen tingkat akhir pun disajikan dengan beragam pilihan tempat untuk membeli barang kebutuhan pokok. Dulu apabila ingin membeli gula dan sekedar sabun mandi orang mendapatkan dari toko tetangga sebelah. Kini cukup dengan berbelanja di ritel modern yang lokasinya tidak jauh dari rumah. Ritel modern pun dirasakan lebih bersih, lengkap serta harga yang relatif lebih murah sehingga menjanjikan kenyamanan yang lebih baik. Membeli barang kebutuhan dari ritel modern pun terkesan lebih elit.
Dibalik keunggulan ritel modern yang dibawa ke pelosok daerah. Sebenarnya masyarakat tengah dihadapkan dengan ancaman “matinya” ritel tradisional. Konsumen akan beralih untuk berbelanja di ritel modern dengan berbagai daya tariknya. Di sudut yang lain, ritel tradisional akan kehilangan konsumen. Hasilnya pun kini dapat dilihat. Ritel-ritel tradisional mulai banyak yang bangkrut dan kemudian gulung tikar karena kehilangan konsumen.
Secara jelas sebenarnya terlihat, ritel tradisional tidak mungkin dapat bersaing dengan ritel modern yang bermodal jauh lebih besar, promosi lebih gencar dan harga lebih kompetitif. Mereka pasti akan terinjak di tengah kompetisi. Ritel tradisional memulai usaha dengan modal seadanya, sisa dari kebutuhan rumahtangga yang diputar kembali. Keuntungan yang diharapkan pun tidak seberapa besarnya. Konsumen yang disasar juga tidak sebegitu banyaknya.
Ritel modern memang menjanjikan lapangan kerja baru yang banyak untuk sektor formal. Usaha ini umumnya dikelola oleh perusahaan-perusahaan, sehingga akan menjanjikan perputaran uang besar. Pemasukan yang diberikan ke Negara juga jauh lebih besar melalui penerimaan pajak. Tapi sadarkah kita bahwa jutaan usaha kecil akan hilang dengan menjamurnya ritel modern? Yang artinya lapangan kerja sektor informal akan tergerus habis. Usaha kecil ritel tradisional yang berusaha hidup mandiri, menopang kehidupan jutaan  keluarga kecil akan dipunahkan oleh kekuatan modal besar.
Tetap Berjuang
Oleh karena itu, Ritel tradisional selayaknya dilindungi. Semangat Negara untuk menjamin keberlangsungan hajad hidup masyarakatnya untuk mandiri harus tetap dijaga. Ritel tradisional tidak boleh hilang dan mati. Usaha seperti inilah yang sebenarnya head to head dengan konsumen di tingkat akhir. Salah satu alasan konsumen berbelanja di ritel tradisional adalah pertimbangan lokasi yang tersebar di berbagai sudut. Konsumennya pun biasanya adalah langganan rutin atau masyarakat lingkungan sekitar.
Keberadaan ritel tradisional perlu tetap di jaga dengan serangkaian kebijakan pemerintah. Karena pemerintah lah yang memiliki kewenangan dan regulasi langsung untuk melindungi ritel tradisional namun tetap memfasilitasi ritel modern. Pandangan yang harusnya dibangun adalah ritel modern harus berjalan selaras dengan ritel tradisional, saling melengkapi bukan bersaing satu sama lain yang nantinya pasti akan mematikan salah satunya.
Untuk menyelaraskan keberadaan keduanya. Hendaknya pertumbuhan ritel modern harus dibatasi dengan seperangkat regulasi. Setidaknya perlu ada penataan zonasi. Ritel modern tidak boleh asal berdiri. Perlu ada kebijakan tata ruang yang jelas dan tegas. Kebijakan ini sebenarnya telah ada, namun perlu dikonsistenkan dalam penerapannya. Ritel tradisional sebenarnya memiliki keunggulan, yakni lokasinya yang tersebar hingga ke pelosok-pelosok hingga menyentuh konsumen akhir. Apabila keberadaan ritel modern tidak dibatasi, maka keunggulan ritel tradisional tadi akan diambil alih oleh sehingga tidak memiliki keunggulan lagi.
Ritel modern yang berdiri pun hendaknya menguntungkan bagi daerah setempat. Tujuannya agar tercipta simbiosis mutualisme antar masing-masing pelaku kegiatan ekonomi. sebagai contoh, ritel modern harus menyerap tenaga kerja dari masyarakat setempat. Ritel modern juga dapat menjadi galeri produk-produk UMKM lokal. Serta mampu menjadi mentor bagi ritel tradisional untuk berkembang pesat.
Pengembangan riset tradisional layaknya berjalan dengan dukungan dari semua pihak. bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Lembaga keuangan lewat dukungan modal, akademisi lewat fasilitasi dan inovasi, bahkan kalangan ritel dan pengusaha besar perlu turut memberikan dukungan dalam rangka mempertahankan ritel tradisional melalui serangkaian pendampingan teknis pengelolaan. Konsumen dapat turut berkontribusi untuk memajukan ritel tradisional dengan tidak ikut latah sedikit-sedikit belanja di ritel modern. Karena di satu sisi, keunggulan ritel tradisional yang lain adalah mereka memiliki konsumen setia. Konsumen yang merasa tidak ewuh ketika berbelanja di toko eceran.
Apapun itu, ritel tradisional harus terus bertahan. Bukan berharap untuk berkembang pesat. Ritel tradisional memang perlu dilindungi. Sembari turut merubah wajahnya sendiri. dalam hal ini mereka harus mampu bertransformasi menjadi unit usaha mikro yang lebih modern lewat pengelolaan dan pelayanan kepada konsumen yang lebih baik dan terstandarisasi baik mutu, kualitas serta layanan. Di tengah badai krisis yang melanda dunia. Ritel tradisional diharapkan mampu terus bertahan memenuhi kebutuhan masyarakat dan memberikan sedikit nafkah bagi pelaku di dalamnya. Sembari semua pihak terus memberikan dukungan agar usaha kecil yang sangat strategis ini dapat terus bertahan.
Avi Budi Setiawan: Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Unnes; Peneliti K2EB

TAHUN POLITIK DAN MOMENTUM KEBANGKITAN EKONOMI

Performa perekonomian nasional sepanjang 2013 belum dapat dikatakan menggembirakan. Indikator makro ekonomi menunjukan kinerja penurunan. Pertumbuhan ekonomi tahun 2013 hanya sebesar 5,78%; inflasi 8,38% lalu defisit neraca perdagangan mencapai USD 4 Milyar dan nilai tukar rupiah menembus Rp. 12.000 per USD. Banyak hal yang dianggap turut melatar belakangi pelambatan pertumbuhan ekonomi nasional di tahun lalu.
Volume ekspor pada medio 2013 cenderung mengalami penurunan di tengah kelesuan ekonomi dunia, harga beberapa komoditas andalan juga jatuh. Pada saat yang sama, konsumsi domestik melonjak tajam. Di sisi lain kebutuhan bahan baku industri yang dipenuhi dengan impor mengalami kenaikan. Belum lagi efek kenaikan harga BBM yang memukul sektor informal lewat goncangan inflasi. Beberapa faktor lain turut memberikan andil mulai dari praktek KKN dan ketiadaan sinkronisasi kebijakan antar lembaga.
Tahun ini Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi akbar 5 tahunan. Pemilu akan diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif kemudian diikuti pemilihan presiden. Bukan rahasia lagi, ini akan menjadi hajatan besar yang ditunggu dan menjanjikan “cerita akhir” yang dinantikan oleh semua kalangan. Kesuksesan penyelenggaraan pemilu juga menunjukan tingkat kematangan berdemokrasi lewat partisipasi aktif masyarakat serta proses pergantian pemerintahan yang berjalan sesuai konstitusi.
Sejatinya pemilu turut menjanjikan putaran uang yang besar bagi perekonomian. Setidaknya sektor UMKM, industri logistik, distribusi, dan transportasi akan bergerak. Tapi tidak berhenti sampai di situ saja. Ekspektasi pelaku pasar juga akan tinggi jelang dan pasca pemilu dilaksanakan. Pasar akan sangat menantikan patron kebijakan, paket stimulus dan strategi pengembangan ekonomi baru yang akan dilakukan oleh pemerintahan yang akan datang.
Tak terkecuali pada pesta demokrasi tahun ini. Masyarakat menaruh harapan yang sangat tinggi terhadap pemerintahan yang akan datang, pun juga para pelaku pasar. Di tengah pelambatan ekonomi yang terjadi tahun lalu, ditambah dengan persiapan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Rasanya sangat pantas apabila pasar menaruh harapan tinggi kepada pemerintahan yang akan terbentuk sebentar lagi.
Pemerintahan baru nanti akan langsung dihadapkan dengan jutaan harapan masyarakat serta pekerjaan rumah yang cukup berat. Target pertumbuhan ekonomi 2014 sebesar 5,8% sampai 6,1%; peningkatan kinerja ekspor untuk mengatasi defisit necara perdagangan; menstabilkan kembali nilai tukar rupiah; dan menjaga inflasi pada batas aman di kisaran 4,5%. Belum lagi dengan beragam problem ketimpangan distribusi pendapatan, penegakan hukum, perbaikan kualitas lingkungan, pendidikan, kemiskinan, isu-isu internasional serta beragam permasalahan lain.
Indikator perekonomian sepanjang awal tahun 2014 memang menunjukan kinerja yang positif.  Neraca perdagangan mencatatakan surplus sebesar USD 785,3 juta pada bulan februari. (Kompas, 1/1/2014). Harapannya tren itu selalu terjaga hingga penghujung tahun. Inflasi bulanan sepanjang trimester pertama juga menunjukan kestabilan. Nilai tukar rupiah relatif menguat ke level Rp 11.200 per USD diikuti dengan penguatan IHSG. Lepas dari suhu politik yang “memanas” jelang pesta demokrasi, kinerja makro ekonomi mulai menunjukan sinyal positif.
Tetapi kita perlu berhati-hati. Jangan sampai terlena dengan sinyal positif yang masih terlalu prematur ini. Masih teringat bagaimana tahun lalu perekonomian menunjukan kinerja menggembirakan di awal tahun namun merosot di akhir tahun. Alangkah terlalu naïf jika ada anggapan bahwa peningkatan kinerja variabel makro ekonomi tadi diakibatkan respon positif pasar menjelang pemilu, tanpa memberikan ruang bagi penjelasan-penjelasan teknis yang detail.
Saatnya Bangkit
Pemerintahan baru yang diperoleh dari hasil pemilu nanti setidaknya akan memberikan semangat baru dalam tatanan kenegaraan. Di satu sisi, hal ini sangatlah positif karena akan ada harapan kesegaran dalam arah kebijakan nasional, tak terkecuali kebijakan perekonomian. Arah kebijakan baru adalah harapan baru untuk akselerasi perekonomian nasional. Pasar akan sangat menantikan kerja pemerintah. Ekspektasi ini tentu saja perlu disikapi dengan serius sembari tetap menjaga tren positif hingga akhir tahun.
Pemilu selayaknya menjadi momentum bagi kebangkitan perekonomian nasional. Pemerintah baru yang akan terbentuk nantinya perlu menggerakan seluruh kekuatan untuk mendorong perekonomian lebih baik lagi, sembari mengeksekusi program-program aksi yang sudah direncanakan. Strategi pembangunan perekonomian yang dibangun hendaknya berpilar pada aspek-aspek fundamental yang telah mengakar serta berlandaskan semangat nasionalisme. Serta terstruktur mulai dari jangka pendek,menengah dan panjang.
Susunan kabinet baru jangan diartikan sebagai rezim ekonomi baru. Apabila itu yang terjadi niscaya tidak akan pernah ada blueprint pembangunan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Pemerintahan yang baru juga jangan gengsi untuk mengakui keberhasilan pembangunan yang telah diraih pemerintahan sebelumnya sembari meneruskan program jangka panjang yang telah menjadi visi dan misi. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan untuk pembangunan ekonomi memang benar-benar bersifat sinergis, evaluatif, dan visioner menatap jangka panjang. Tidak berpedoman pada model pembangunan ekonomi jangka pendek yang responsif dan mengesankan bak strategi “pemadam kebakaran”. Siapapun pemerintah yang baru hendaknya arif menyadari bahwa membangun perekonomian bukanlah kerja lima tahun saja, tapi kerja jangka panjang yang butuh waktu.
Perlu diingat bahwa ukuran keberhasilan pembangunan perekonomian bukan terletak pada asumsi makro ekonomi belaka. Peningkatan perekonomian bukan semata mengacu pada aspek kuantitatif yang termanifestasi dari kumpulan angka-angka yang menunjukan tren naik turun. Pembangunan ekonomi layaknya perlu dimaknai sebagai peningkatan taraf hidup masyarakat yang selaras. Tujuan besarnya adalah menciptakan masyarakat yang adil makmur sejahtera dan merata. Sebagaimana cita-cita luhur pendiri bangsa.
Avi Budi Setiawan, Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan Unnes; Peneliti K2EB

Potret Istri Nelayan Pesisir Gempolsewu

Daerah desa gempolsewu merupakan salah satu desa pesisir di kecamatan rowosari Kendal. Sebagai desa pesisir pantura. Praktis tidak ada hal yang berbeda jauh secara fisik dengan kawasan kampung pesisir pantura lainnya. Akan banyak dijumpai beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI), bilik bambu untuk menjemur ikan, jaring nelayan, dan perahu-perahu penangkap ikan. Aktivitas kenelayanan pun dilaksanakan seperti halnya kawasan-kawasan pesisir lain. laki-laki kebanyakan bekerja sebagai nelayan sedangkan istri nelayan biasanya berprofesi sebagai ibu rumahtangga, dan sebagian lagi bekerja untuk memperoleh penghasilan.
Dalam pola kehidupan nelayan di desa gempolsewu, istri nelayan banyak mengambil peran. Baik peran ekonomi maupun peran non ekonomi. Tanpa meninggalkan peran sebagai ibu rumah tangga, istri nelayan juga banyak yang berprofesi sebagai pekerja. Terlebih ada dukungan dari suami apabila istri nelayan juga bekerja, karena nantinya hal itu akan bermanfaat bagi penghasilan keluarga nelayan. Ragam pekerjaan istri nelayan sebetulnya relatif lebih bervariasi dibandingkan suaminya. Apabila suami nelayan kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Maka istri nelayan lebih mengambil peran pada pekerjaan hilir pada peta aktivitas kenelayanan. Seperti menjadi pengolah ikan, pedagang ikan, bekerja pendapatan di luar kenelayanan seperti menjadi pedagang, membuka warung dan lain sebagainya. Ragam pekerjaan istri nelayan yang lebih variatif ini menjadi menarik untuk diteliti. Istri nelayan mampu menjadi back up bagi kehidupan ekonomi rumah tangga di tengah ketidak pastian penghasilan suami. Peran saling mengisi di tengah keterbatasan inilah yang menarik.
Istri nelayan sebenarnya lebih luwes dalam memainkan berbagai pekerjaan, lebih dapat beradaptasi dengan kondisi ekonomi. pekerjaan istri nelayan juga sebenarnya lebih stabil. Karena mereka tidak bergantung pada tuntutan volume produksi yang sangat bergantung pada musim, “ada barang diolah, tidak ada barang ya tidak rugi”. Pekerjaan yang dilakukan istri nelayan juga relatif beresiko lebih rendah daripada pekerjaan kenelayanan yang dilakukan oleh suami nelayan. Walaupun sebenarnya apabila ditelisik lebih jauh jika keadaan normal penghasilan suami nelayan akan jauh lebih besar daripada istri nelayan.

Akan tetapi, peran istri nelayan sebagai ibu rumahtangga juga tidak ditinggalkan sama sekali. Walaupun mereka bekerja pendapatan, aktivitas rumahtangga seperti mencuci baju, memasak, membersihkan rumah dan lain sebagainya selalu dilakukan di tengah-tengah rutinitas aktivitas harian sebagai wanita pekerja. Artinya, alokasi waktu istri nelayan dalam bekerja itu sebenarnya bisa jadi lebih banyak dari suami nelayan. karena mereka juga bekerja pendapatan namun tetap melakukan aktivitas rumahtangga.
Kemampuan untuk melengkapi peran suami nelayan sebagai mesin penghasilan rumah tangga ini merupakan sebuah bentuk fenomena empiris. Apabila pada struktur msyarakat kota, perempuan dituntut untuk bekerja sebagai bentuk aktualisasi diri, namun mereka dibekali dengan pendidikan yang tinggi, akses ke lapangan kerja formal lebih mudah. Tidak demikian pada kondisi nelayan pesisir. Istri nelayan dituntut untuk bekerja tanpa dibekali bekal pendidikan yang tinggi serta kemudahan akses pekerjaan. Artinya, pola pikir telah berubah. Dorongan untuk bekerja muncul sebagai respon akan upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan keinginan untuk beraktualisasi. Istri nelayan mengakui bahwa salah satu motivasi terbesar yang membuat mereka bekerja adalah untuk membantu suami. Sehingga akan terdapat pembagian beban antara suami dan istri terkait alokasi pendapatan. Hal inilah yang menjadi kunci di tengah keterbatasan.
Pekerjaan yang dilakukan istri nelayan cenderung lebih bervariasi meskipun kebanyakan pada sub sistem hilir. Yakni pengolahan ikan menjadi produk-produk yang beragam, menjual kembali ikan tangkapan. Alasan memilih pekerjaan menjual hasil tangkapan ke dalam beberapa variasi produk antara lain disebabkan karena berbagai hal. Bahan baku untuk menjalankan kegiatan usaha relatif mudah didapat dan harganya murah. Pada saat musim melaut, hampir setiap hari nelayan menangkap ikan dan hasil laut lain. sepanjang itu pula pasokan bahan baku untuk usaha yang dibutuhkan istri nelayan akan terpenuhi. Pekerjaan pengolahan hasil kenelayanan juga telah memiliki pasar yang jelas. Istri nelayan tidak akan kesulitan menjual produk yang dihasilkan karena telah banyak pembeli yang akan menampung hasil produksi mereka. selain itu, aktivitas ini juga relatif lebih stabil dan resiko yang lebih rendah.
Faktor lain yang menyebabkan pilihan pekerjaan istri nelaya jatuh pada kegiatan pengolahan ikan, penjualan hasil laut antara lain disebabkan karena keterbatasan kemampuan. Biasanya kemampuan untuk melakuka pekerjaan yang digeluti sekarang adalah karena pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun. Atau belajar secara autodidak dari pengamatan dan dari lingkungan sekitar. Pekerjaan yang ditekuni bukan muncul karena inovasi dan kejelian menangkap peluang. Namun lebih kepada melakukan aktivitas yang bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan.
Berdasarkan pengalaman, selama ini tidak pernah ada hambatan untuk menjual produk yang dihasilkan dari usaha pengolahan dan penjualan hasil kenelayanan yang dilakukan oleh istri nelayan. Selama ini yang menjadi kendala adalah pasokan bahan baku yang tidak kotinyu sehingga akan berimplikasi pada volume produksi dan harga jual produk. Kendala lain adalah faktor alam, yaitu musim. Karena walau tidak langsung musim akan berpengaruh pada pasokan hasil tangkapan nelayan, musim juga akan berpengaruh pada jenis hasil laut yang ditangkap. Kebanyakan usaha kenelayanan yang dilakukan oleh istri nelayan dilakukan di sekitar kawasan pesisir. Apabila usahanya penjualan ikan dan hasil laut lain, maka pada saat musim tertentu mereka tidak akan dapat menjual jenis tangkapan tertentu, bahkan pada saat musim hujan dan badai mereka tidak akan mendapat hasil laut untuk dijual. Belum lagi apabila sering terjadi hujan, maka istri nelayan tidak akan berjualan sebab lapak mereka tak dapat ditempati. Pembeli pun jarang datang. Namun, apabila usahanya adalah kegiatan pengolahan hasil laut maka selain berpengaruh pada pasokan bahan baku, faktor alam akan berdampak pada kegiatan usaha istri nelayan. Apabila musim hujan dan jarang terdapat sinar matahari terik maka teri, ikan asin, terasi akan tidak maksimal diproduksi karena hasil laut kebanyakan dipasarkan dan menjadi bahan baku dalam bentuk kering, yang itu semua membutuhkan sinar matahari.
Kegiatan penjualan hasil ikan misalnya. Bahan baku ikan dan hasil tangkapan segar biasanya diperoleh dari pedagang besar yang membeli dari TPI. Istri nelayan yang menjadi pedagang ikan kecil tidak mampu membeli langsung dari nelayan atau membeli dari TPI karena beberapa hal. pertama, nelayan yang melaut biasanya terlibat perjanjian dengan pedagang ikan besar yang umumnya pemodal untuk menjalankan praktek monopsoni. Hal ini terjadi mengingat kebanyakan nelayan akan membutuhkan modal untuk melaut. Modal seringkali diperoleh dari pinjaman juragan ikan besar dan kompensasi pembayarannya adalah penjualan hasil tangkapan kepada juragan besar tersebut. Pedagang kecil tentu saja akan kesulitan memperoleh ikan hasil tangkapan untuk dijual. Untuk mengikuti pelelangan ikan di TPI pun mereka akan terkendala, sebab ikan yang dilelang biasanya akan dibeli oleh pedagang besar. Maka, pilihan yang diambil adalah membeli dari pedagang ikan besar walaupun nantinya margin keuntungan yang diterima akan kecil. Karena mereka membeli ikan dari orang yang akan menjual produknya pada lokasi yang sama.
Sedangkan untuk kegiatan pengolahan hasil laut yang dilakukan istri nelayan relatif cukup beragam. Kegiatan pengasinan ikan, pemanggangan ikan, pembuatan terasi dan beberapa olahan hasil laut lain sering ditemui di kawasan pesisir. Ketersediaan bahan baku dan jaminan pemasaran menjadi alasan kegiatan usaha ini terus ditekuni oleh istri nelayan. Umumnya seperti pada usaha penjualan ikan, unit usaha pengolahan hasil laut juga memanfaatkan tangkapan dari nelayan setiap harinya. Pengolahan juga dilakukan tidak jauh dari lokasi TPI atau tempat tinggal mereka. untuk kegiatan usaha ini, ketergantungan akan alam terkait pasokan bahan baku dan proses produksi sangatlah tinggi. Aktivitas pengolahan ikan relatif lebih menyita waktu dibandingkan dengan pekerjaan menjual ikan mentah. Istri nelayan sudah harus bangun di pagi hari untuk membeli bahan baku dari penjual ikan atau mengikuti lelang ikan di TPI. Setelah itu mereka akan langsung mengolah bahan baku di lokasi produksi. Ini akan memakan waktu lama, bahkan hingga mendekati sore hari baru dapat selesai untuk esok harinya dijual kepada konsumen. Dan di sela-sela waktu tadi mereka akan menyelesaikan aktivitas rumahtangga dengan dibantu anggota keluarga yang lain.
Dalam bekerja istri nelayan menggunakan lapak sementara. Biasanya lapak dibuka secara lesehan di sekitar TPI dan mereka akan bekerja mulai pukul 5 pagi hingga 9 pagi pada saat lelang pagi dimulai. Karena istri nelayan terlebih dahulu harus membeli ikan dari pedagang besar, mengumpulkan barang dagangan. Kemudian nantinya ketika proses lelang siang hari jam 1 dibuka mereka akan kembali berjualan pukul 1 hingga 5 sore untuk menghabiskan dagangan mereka tadi pagi.
Memang hasil yang diperoleh tidaklah seberapa. Namun untuk pekerjaan yang sifatnya hanya membantu suami saja maka omset yang dihasilkan per hari dapat dikatakan cukup membantu kebutuhan rumahtangga. Tak kurang istri nelayan yang bekerja sebagai penjual ikan dan pengolah tangkapan hasil laut segar dapat menerima penghasilan bersih hingga 100.000 tiap kali ramai dan sekurang-kurangnya 30.000 jika sepi, usaha yang dijalankan juga minim resiko karena apabila ikan habis maka akan disimpan di dalam es dan akan dijual lagi keesokan harinya. Berbeda dengan nelayan tangkap, mereka akan berhadapan dengan resiko alam, resiko ekonomi seperti tidak adanya tangkapan sehingga tidak mampu mencukupi biaya melaut.
Namun, walaupun suami-istri bekerja. Rumahtangga nelayan senantiasa dihadapkan pada permasalahan klasik. Rendahnya kualitas taraf hidup seolah-olah berkorelasi dengan ketidak pastian pendapatan yang diperoleh. Kondisi keluarga nelayan tak ubahnya berada pada jurang kemiskinan dan hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup secara subsistem saja. Walaupun semua elemen dalam rumahtangga bekerja, namun tingginya kebutuhan hidup juga menyebabkan kondisi perekonomian mereka tidak berubah ke arah yang lebih baik.
Selama ini, muncul budaya kolektif yang tumbuh dan berkembang di masyarakat nelayan. Keluarga nelayan umumnya memiliki kenderungan untuk konsumsi yang cukup tinggi. Bahkan ada pepatah entek nggolek yang mengandung filosofi bahwa pendapatan dalam satu hari akan dihabiskan pada hari itu juga. Kebiasaan inilah yang melahirkan budaya konsumsi tinggi di kalangan masyarakat nelayan. Apabila ditelisik lebih lanjut, sebenarnya variasi konsumsi masyarakat nelayan tidaklah banyak. Mereka biasanya tidak menyekolahkan anak hingga pendidikan tinggi. Sehingga investasi pendidikan tidak masuk dalam pos anggaran rutin mereka dalam jangka panjang. Konsumsi tinggi ini mungkin disebabkan karena pekerjaan nelayan yang menyita waktu dan biaya yang besar.
Untuk melaut biasanya nelayan membutuhkan perbekalan dan modal yang tinggi. Apabila mereka tidak memiliki modal yang cukup, maka mereka harus meminjam. Namun, kompensasi dari itu semua adalah hasil tangkapan yang harus melimpah, untuk setidaknya mampu menutupi biaya melaut. Apabila hasil tangkapan mencukupi maka penghasilan yang diterima akan besar. Inilah yang diduga melahirkan budaya konsumsi tinggi. Masyarakat tidak siap menerima uang dalam jumlah yang besar karena tidak tahu cara mengelola dengan baik. Selain itu, pekerjaan melaut yang berat juga melahirkan keinginan untuk menikmati hasil yang jauh lebih tinggi. Kondisi inilah yang membuat pola konsumsi tinggi terpelihara dengan baik. Namun, apabila hasil tangkapan tidak mencukupi maka nelayan pastinya akan mengalami kerugian. Kerugian tentu saja harus ditutup dengan berbagai cara. Setidaknya nelayan harus bisa melaut kembali dengan harapan mendapatkan tangkapan yang lebih banyak. Padahal seperti diketahui bersama, kegiatan kenelayanan sangat tidak pasti, nelayan belum tentu akan mendapatkan hasil ketika melaut. Hal ini yang menyebabkan kondisi keluarga nelayan relative belum sejahtera.
Terkait dengan istri nelayan yang bekerja, kondisi nelayan yang demikian sebenarnya secara tidak langsung akan melahirkan ketergantungan pada sumber pendapatan lain untuk menutup kebutuhan. apabila tidak ada sumber pendapatan lain, maka keadaan ini akan ditutup dengan berhutang. Artinya, sebenarnya ketergantungan kepada istri nelayan sebenarnya lebih dari sekedar back up saja namun juga sebagai motor penggerak ekonomi keluarga. Biasanya penghasilan dari istri nelayan akan dipergunakan untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, akan sangat wajar apabila keluarga nelayan sulit untuk menabung dan merencanakan keuangan keluarga dengan lebih baik. Mengingat struktur pendapatan suami nelayan yang sangat tidak menentu dan beresiko akan kerugian, namun pekerjaan istri nelayan yang sebenarnya lebih stabil tapi kurang menjanjikan. Disaat yang sama, tidak ada perubahan signifikan dalam pola konsumsi dan tabungan.
Memang benar, bahwa selama ini kontribusi istri nelayan terhadap total pendapatan keluarga tidaklah begitu besar. Namun perlu diingat, istri nelayan telah mengambil peran dalam mengurangi ketergantungan rumahtangga terhadap suami nelayan. Memang hal ini belum begitu menolong keluarga nelayan keluar dari jeratan kemiskinan. Akan tetapi sedikit membantu mengurangi ketergantungan akan hutang di saat suami nelayan tidak dapat bekerja maksimal. Kontribusi inilah yang sebenarnya tidak besar secara presentase tapi sangat berarti secara psikologis. Keluarga nelayan yang istrinya bekerja setidaknya memiliki perbedaan mencolok dengan keluarga nelayan yang istrinya tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumahtangga. Bagi istri nelayan yang bekerja, mereka memiliki kemandirian ekonomi, kebebasan untuk mengelola pendapatan. Mengingat manajemen keuangan keluarga seringkali dikelola oleh istri. Sehingga mereka memiliki dua pos pendapatan yang dapat dikelola bersamaan.
Tidak semua istri nelayan bekerja pendapatan. Sebagian istri nelayan juga banyak yang tidak bekerja. Aspek rumahtangga, ketiadaan modal dan sikap hidup pragmatis menjadi alasan yang paling mengemuka. Akan tetapi, ditengah kondisi masyarakat pesisir yang serba kekurangan, kemiskinan yang banyak terlihat itu tak tampak ada disharmonisasi sosial di masyarakat pesisir. Khususnya istri nelayan yang bekerja dan tidak bekerja. Semua saling memahami kondisi satu sama lain. aktivitas sosial kemasyarakatan seperti pengajian, arisan kerukunan tetangga, dan PKK rutin selalu dilaksanakan di kampung pesisir. Walaupun biasanya, istri nelayan yang bekerja tidak akan mampu berpartisipasi aktif mengingat alokasi waktu yang terbatas.
Dukungan pemerintah kepada istri nelayan dalam bekerja pendapatan ini dapat dikatakan sudah ada. Namun, hasilnya belum dapat dilihat dan dirasakan. Pemerintah dengan berbagai keterbatasannya tentu saja akan mengalami kesulitan dalam memberikan dukungan kepada istri nelayan yang bekerja pendapatan ini. Belum ada kesinambungan program pemberdayaan istri nelayan untuk meningkatkan kapasitas taraf hidupnya. Selama ini, semua pihak seolah-olah bekerja sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas. Karena masing-masing memiliki tujuan sendiri. Tak bisa disalahkan, memberdayakan istri nelayan tentu saja merubah paradigma berfikirnya, mengganti kebiasaan lama yang tidak konstruktif, serta membutuhkan modal yang tidak sedikit. Hal in tentu saja akan sangat sulit bagi pemerintah. Program yang seperti apa yang harus diberikan kepada istri nelayan agar dapat berdaya saing. Program yang sudah dianggarkan dengan biaya tinggi akan sangat rentan gagal apabila nelayannya tidak siap untuk menerima programnya. Sedangkan di sisi lain istri nelayan menginginkan program pemberdayaan tanpa mau belajar terlebih dahulu. Seolah ketika program datang mereka akan mendapatkan kompensasi tanpa harus berusaha terlebih dahulu.

Peta Minyak Nasional: Dulu, Kini dan Nanti

Dahulu Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya minyak. Pada periode tahun 70an, tak kurang dari 1,6 juta barrel minyak diambil dari dalam lambung bumi pertiwi setiap harinya. Saat itu Indonesia menjelma sebagai salah satu Negara penghasil minyak utama dunia, dan pada tahun 1961 masuk ke dalam kartel organisasi Negara pengekspor minyak dunia (OPEC). Prestasi yang sama terulang kembali pada pertengahan dekade 90an, produksi minyak kembali menyentuh 1,6 juta barrel/ hari.
Namun, skenario cerita berubah. Dulu negeri kaya ini dikenal sebagai ladang minyak. Sekarang Indonesia berubah menjadi Negara net pengimpor minyak. Anjloknya produksi minyak dalam negeri dan bertambahnya konsumsi domestik membawa konsekuensi logis yang berat. Indonesia tidak lagi bergantung pada minyak sebagai penyumbang devisa Negara, bahkan kini harus terbebani dengan pengeluaran impor minyak untuk menutup kebutuhan domestik yang membumbung.
Secara kuantitas produksi minyak mentah indonesia terus menurun hingga hanya sekitar 835 ribu barrel/ hari. Pada saat yang sama kebutuhan akan BBM secara ekuivalen telah mencapai 1,5 juta barrel/ hari. Semakin lebarnya jurang antara produksi dan konsumsi ini menasbihkan indonesia sebagai negara pengimpor minyak. Bahkan diperkirakan cadangan minyak nasional hanya sekitar 3,6 milyar barrel saja, jauh dibandingkan dengan cadangan minyak Venezuela, Iran, Arab Saudi dan negara penghasil minyak lain. Jika tidak ditemukan lapangan minyak baru dan tidak ada eksplorasi maka diperkirakan minyak kita akan habis dalam 12 tahun mendatang dengan asumsi lifting 800-900 ribu barrel minyak per hari.
Penurunan lifting minyak dalam negeri memang sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Tak ada lapangan minyak baru yang dapat dieksploitasi. Setelah itu, belum ada lapangan baru yang ditemukan. Hal inilah yang membawa dampak menurunnya lifting minyak. Kita sangat bergantung pada produksi lapangan-lapangan tua yang sudah tidak optimal lagi dalam mengeduk minyak.
Badan Pengelola Hulu Minyak dan Gas Nasional (BP Migas) yang kini berganti nama menjadi SKK Migas sebagai stakeholder dalam peta hulu minyak nasional mempunyai PR besar untuk segera menemukan lapangan minyak baru. Tetapi banyak kendala yang dihadapi dalam hal ini. Birokrasi yang panjang untuk memulai proses eksplorasi hingga mencapai 25 jenis perizinan, anggaran negara untuk eksplorasi yang terbatas mengingat berbagai kendala teknis, hingga ketidakmampuan dalam negeri untuk melakukan eksplorasi merupakan tantangan-tantangan berat yang harus dihadapi.
Kendala di sektor produksi tidak hanya terjadi pada lifting saja. Pada tahap refining atau penyulingan minyak ternyata terdapat banyak hal yang menjadi permasalahan pelik. Kapasitas kilang minyak yang beroperasi di indonesia baik milik negara dan asing mencapai 1,1 juta barrel/ hari. Kilang-kilang ini mengolah minyak mentah produksi dalam negeri dan minyak mentah yang diimpor. Namun, tidak semua minyak dalam negeri dapat diolah di kilang-kilang dalam negeri. Terdapat berbagai kendala, antara lain spesifikasi kilang minyak yang terpasang ternyata tidak sesuai dengan jenis minyak yang dihasilkan dari lapangan-lapangan minyak di dalam negeri. Hal inilah yang memaksa negara “terpaksa mengekspor” minyak mentah yang dihasilkan dan mengimpor minyak mentah dari negara lain khususnya negara-negara arab dan afrika untuk kemudian diolah di dalam negeri. Hal ini dikenal sebagai processing deal.
Keterbatasan jumlah kilang minyak dalam negeri tentu saja memberikan andil begitu besarnya ketergantungan kita akan BBM impor. Untuk membangun kilang minyak di dalam negeri bukanlah hal yang mudah. Praktis kilang minyak terakhir dibangun sekitar tahun 1998. Untuk membangun kilang minyak bukan hanya mempertimbangkan aspek modal dan investasi saja. Aspek keberlanjutan pasokan bahan baku minyak juga harus menjadi perhatian.
Selama periode 2013, konsumsi BBM Indonesia mencapai 57 juta kiloliter namun kuota BBM bersubsidi dalam APBN ditargetkan hanya sebesar 46 juta kiloliter. Tingginya konsumsi BBM dalam negeri antara lain disebabkan karena pertumbuhan kendaraan bermotor dan mobil pribadi, aktivitas industri serta pembangkitan listrik yang memerlukan BBM sebagai salah satu pos dalam faktor produksi dan beberapa faktor lain. Namun, penggunaan BBM untuk konsumsi kendaraan bermotor pribadi memberikan porsi tertinggi dari total konsumsi BBM nasional.
Tingginya konsumsi BBM oleh kendaraan pribadi bisa menjadi cermin belum optimalnya peran moda transportasi umum dan masih bergantungnya kita pada bahan bakar konvensional berbasis minyak. Konsumsi BBM yang tinggi juga dapat menjadi indikator semakin tingginya aktivitas ekonomi di Indonesia. Terlepas dari itu semua, intinya kebutuhan akan BBM dalam negeri sudah sangatlah besar dan kita belum menemukan penggantinya atau setidaknya belum mengendalikan laju pertumbuhan konsumsinya yang besar.
Maka dari itu, sudah saatnya negeri ini berkaca. Masih pantaskah kita berbangga diri sebagai negeri kaya minyak? Komoditas yang membuat sejumlah Negara berperang untuk memperebutkannya. Komoditas yang membuat energi kita habis untuk memperdebatkan kenaikan harga nya tanpa meyadari bagaimana sebenarnya kondisinya. Semangat subsidi yang selama ini didengungkan dengan berlandaskan pada pasal 33 UUD 1945 mungkin harus dimaknai ulang dan dikonsistenkan dalam penerapannya.
Kekayaan alam yang terkandung di bumi pertiwi memang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun bukan berarti dibagikan kepada generasi ini saja. Peninggalan ini harus kita turunkan kepada anak cucu kita, seperti halnya pendahulu kita mewariskannya kepada kita. Besar harapan kita akan adanya perbaikan dalam peta perminyakan nasional. Untuk menjamin bahwa negeri ini akan mandiri energi, seraya memastikan setiap tetes minyak yang dihasilkan adalah benar-benar untuk kemakmuran rakyat. Maka akan menjadi menarik perkataan dari mantan presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad yang menyatakan akan berjuang untuk memastikan setiap pendapatan dari minyak bumi Iran akan jatuh ke meja makan rakyat Iran.   
Avi Budi Setiawan. Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan FE UNNES, Peneliti K2EB

PESAN PENDIDIKAN DARI DIENG

Ketidak merataan pendidikan merupakan salah satu masalah klasik di negeri ini. Fasilitas pendidikan yang tidak merata berbanding lurus dengan kualitas yang dihasilkan. Sudah bukan rahasia lagi, apabila fasilitas pendidikan di kota besar jauh lebih lengkap dibandingkan di daerah dan memunculkan jurang pemisah. Jangankan membandingkan pendidikan di jawa dan di luar jawa yang timpang. Di pulau jawa sendiri juga terdapat ketimpangan yang cukup lebar antara kota dan desa.
Sejatinya, pendidikan yang layak adalah hak dari setiap warga Negara sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 30. Menyelenggarakan pendidikan yang baik untuk menghasilkan generasi yang cerdas juga menjadi cita-cita luhur para pendiri bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Namun, dalam perjalanannya terdapat banyak masalah dan tantangan yang dihadapi. Fasilitas pendidikan yang tidak merata, keterbatasan jumlah guru hingga rendahnya kesadaran berpendidikan di daerah merupakan potret kecil dari peliknya problem pendidikan di negeri ini, khususnya di jenjang dasar.
Pendidikan dasar adalah gerbang pertama dalam menempuh jenjang pendidikan formal. Salah satu proses pembentukan karakter siswa yang paling awal. Di tahap inilah salah satu masa paling krusial dalam proses mendidik siswa. Pada jenjang ini seharusnya siswa menikmati setiap proses pembelajaran yang diterima serta memperoleh pendidikan yang sebenar-benarnya. Di tahap inilah sebenarnya siswa dibekali dengan dasar-dasar pemahaman yang baik.
Dirasakan bahwa kualitas pendidikan saat ini seolah-olah diidentikan dengan angka-angka nilai raport siswa tanpa melihat proses belajar. Hal inilah yang menjadi keprihatinan bersama. Esensi pendidikan terjebak pada orientasi hasil akhir akademik. Jauh dari semangat pembelajaran yang berorientasi proses. Seorang siswa akan lebih diapresiasi ketika mendapatkan nilai sempurna dibandingkan siswa yang jujur belajar namun mendapatkan hasil kurang maksimal.
Nilai raport dan kumpulan piagam penghargaan dianggap menjadi salah satu tolak ukur prestasi siswa. Seorang siswa akan dikatakan pandai ketika memperoleh ranking atau nilai yang bagus di sekolah, rajin mengikuti lomba dan menghasilkan penghargaan untuk sekolahnya. Akhirnya motivasi untuk belajar adalah memperoleh nilai yang bagus. Siswa menjadi rentan berfikir pragmatis. Bagaimana caranya agar mendapatkan nilai-nilai yang tinggi.
Tak dapat disalahkan apabila para orang tua ingin menyekolahkan anaknya di tempat yang layak. Adalah menjadi tugas Negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas serta terjangkau. Namun, pendidikan yang diberikan hendaklah merata dan tidak meninggalkan nilai-nilai luhur pendidikan itu sendiri. Pesan pendidikan harus lah sampai ke siswa seraya benar-benar diresapi oleh guru.
Jauh dari tembok tinggi kemewahan pendidikan kota. Di desa terpencil dataran tinggi Dieng, esensi pendidikan diajarkan dengan penuh ketulusan di tengah keterbatasan. Topografi daerah yang terpencil dan terletak di gunung membawa beberapa dampak mulai dari terbatasnya akses, ketiadaan beberapa sarana penunjang khususnya di sekolah swasta serta mobilitas para siswa dan guru yang terbatas. Tapi, bentangan alam inilah yang mungkin membuat esensi pendidikan benar-benar sampai. Nilai-nilai religiusitas yang tinggi dibalut kearifan lokal membumi bersama semangat belajar siswa di tengah keterbatasan, dan terlindung di tengah gagahnya tembok alam.
Terdapat  beberapa sekolah yang masih menjunjung tinggi semangat pendidikan dasar yang berlandaskan pada ajaran Ki Hajar Dewantara di Dieng. Pendidikan diajarkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budi pekerti. Guru mengajar sembari memberikan tauladan dengan berladaskan pada filosofi ing ngarsa sung tuladha. Benar-benar yang dilakukan guru adalah hal yang baik dan akan ditiru oleh muridnya. Pendidikan yang diberikan di tengah nuansa kekeluargaan seperti ini justru membuahkan rasa menghormati. Sosok guru benar-benar memegang peran sebagai contoh dan panutan. Terlepas dari bagaimanapun kualitas guru disana, sebuah pelajaran sederhana dapat dipetik. Mengajarlah dengan sepenuh hati maka siswa akan mampu menerima hal yang baik.
Keterbatasan fasilitas memang menjadi kendala banyak sekolah di Dieng. Namun kadang fasilitas pembelajaran yang lengkap juga bukan menjadi jaminan terselenggaranya proses pembelajaran yang lebih baik. Lengkapnya fasilitas pembelajaran apabila tidak dipergunakan dengan optimal hanya akan menimbulkan ketidak efektifan. Sayangnya, hal inilah yang justru sering terjadi. 
Esensi dari mendidik adalah mengajar dengan penuh dedikasi, senantiasa memotivasi layaknya guru-guru yang mengajar sepenuh hati di tengah keterbatasan gaji yang diperoleh. Bagi sebagian besar guru disana, mendidik adalah sebuah bagian dari ibadah. Niat untuk menyampaikan ilmu yang berguna. Di sisi yang lain, para siswa telah memperoleh guru-guru terbaik hasil didikan alam yang memiliki mental baja dan totalitas dalam mengajar.
Mengajar adalah memberikan pemahaman, ilmu dan menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada siswa dalam proses pengajaran. Mengajar bukan menekan siswa dengan tuntutan-tuntutan akademik. Pendidikan diberikan bukan dengan memberikan target kepada siswa untuk mencapai rentang nilai akademik tertentu. Seorang guru yang hebat sejatinya adalah yang mampu mengajar dengan memotivasi seraya memastikan setiap anak didiknya mampu menyerap ilmu yang diberikan. Di sinilah letak esensi Ing madya mangun karsa. Siswa yang dididik dengan baik tidak akan pragmatis dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai baik. Namun bersaing untuk terlebih dahulu mencium tangan guru ketika tiba di sekolah, bersaing untuk membawakan tas mereka dan berusaha untuk menjadi yang pertama dipuji ketika berhasil menyelesaikan pertanyaan guru.
Nuansa pendidikan akademis juga tidak harus diperoleh dari sekolah-sekolah mewah yang menjanjikan menu jajanan kantin lengkap. Sekolah-sekolah favorit juga tidak harus diisi oleh murid yang setiap harinya diantar oleh mobil-mobil mewah. Jauh di Dieng sana, sebuah sekolah yang baik berdiri dengan anak-anak yang berjalan menyusuri pematang ladang dan menuruni lembah untuk berangkat. Sekolah yang para siswanya membeli jajan di kantin kejujuran. Sekolah seperti inilah yang menyebarkan pesan pendidikan sebenarnya.
Sepantasnya, semangat inilah yang harus dipertahankan. Semangat untuk terus menuntut ilmu demi masa depan lebih baik. Semangat para guru untuk mencetak calon pemimpin bangsa yang religius, amanah dan berbakti tanpa pamrih. Seraya senantiasa berharap akan ada tangan-tangan yang menyentuh mereka dengan kepedulian. Tidak untuk membuat sekolah-sekolah terpencil tadi setara dengan sekolah yang maju di kota. Tapi untuk memberikan pesan bahwa masih ada yang peduli dengan mereka sesuai makna tut wuri handayani.
Oleh: Avi Budi Setiawan Pengajar Jurusan Ekonomi pembangunan FE Unnes; Peneliti K2EB    

TANTANGAN NUKLIR DI TENGAH ANCAMAN KRISIS ENERGI

Mendengar kata nuklir, pandangan orang langsung teringat pada radioaktif, fukushima, chernobil, Hiroshima-nagasaki, kebocoran reaktor dan banyak tragedi kemanusiaan lain. Nuklir dianggap sebagai senjata mematikan dan sumber energi yang sangat berbahaya. Dugaan penggunaannya sebagai senjata juga yang memicu ketegangan di kawasan timur tengah sehingga memicu instabilitas kawasan. Sejarah memang mencatat, sejak awal ditemukan sumber energi ini telah banyak menimbulkan malapetaka. Namun jangan lupa, nuklir telah memberikan beragam manfaat bagi umat manusia.
Apa yang salah dengan nuklir? Sehingga tidak semua Negara dapat mengembangkan proyek pengayaan uranium dengan bebas. IAEA sebagai badan tenaga atom dunia yang membawahi penggunaan nuklir selalu memberlakukan kontrol ketat kepada Negara-negara yang melakukan program pengayaan uranium. Apabila nuklir dianggap berbahaya, lalu bagaimana dengan sumber energi lain. Apakah benar-benar bersih, bebas dari resiko kerusakan parah yang dapat menyebabkan tragedi kemanusiaan dan lingkungan?
Salah satu tujuan utama dari pengembangan nuklir adalah sebagai pembangkit energi. Hingga tahun 2013, kurang lebih terdapat 442 PLTN berlisensi di dunia dengan 441 diantaranya beroperasi di 31 negara yang berbeda. Keseluruhan reaktor tersebut menyuplai 17% daya listrik dunia. (www.wikipedia.org). Pun demikian, dunia kini dihadapkan pada sebuah isu besar permasalahan energi terbarukan sebagai ancaman global.
Dengan kapasitas pembangkitan energinya yang sangat besar, tak heran banyak Negara maju mulai beralih ke nuklir sebagai sumber pembangkit energi utama. Namun, untuk membuat reaktor nuklir sebagai pembangkit listrik bukanlah hal yang mudah. Diperlukan teknologi tinggi, ilmu pengetahuan dan tenaga ahli yang benar-benar kompeten untuk mengoperasikannya. Sehingga hanya beberapa Negara di dunia yang sukses mengembangkan proyek pengayaan uranium untuk keperluan pembangit energi listrik. Perancis, Inggris, Amerika Serikat, India, Jepang, dan Rusia adalah contoh-contoh Negara yang menggunakan nuklir sebagai salah satu varian pembangkit listrik di negaranya. Bahkan Perancis memiliki 59 reaktor dan menggantungkan 80% dari total produksi listrik di Negara tersebut kepada nuklir.
Di tengah kebutuhan dunia yang tinggi akan sumber energi baru terbarukan, seharusnya nuklir mampu menjadi pilihan. Kemampuan nuklir untuk pembangkitan listrik sangat besar dan jauh lebih efisien dibandingkan energi fosil. Namun, dunia seakan sudah antipati terhadap nuklir sebagai salah satu sumber energi yang paling bersih dan efisien. Bayang-bayang resiko lingkungan dan tragedi kemanusiaan seolah selalu membekas dalam ingatan kelam sejarah dunia. Nuklir dianggap sebagai mesin perusak dan harus diganti penggunaannya. Oleh karena itu, IAEA mengkampanyekan dunia bersih nuklir tahun 2030.
Apakah pandangan itu tepat? Apakah sumber energi lain jauh lebih bersih dari nuklir? Atau kita yang belum menemukan kelemahan sumber energi lain tersebut? Atau kita yang belum bijak dalam memanfaatkan nuklir? Ketika dunia ramai-ramai mencari sumber energi alternatif pengganti energi fosil, nuklir seakan ditinggalkan. Catatan sejarah dan ilmu pengetahuan akan besarnya manfaat nuklir sengaja dilupakan karena dianggap terlalu berbahaya.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini sangat kaya akan uranium. Lebih daripada itu, Indonesia juga kaya akan gas alam, batubara, dan panas bumi serta beragam sumber energi alternatif. Setidaknya total kebutuhan energi listrik nasional mencapai 30.000 Mw, dan hampir semuanya dipenuhi oleh pembangkit listrik tenaga Uap di PLTU-PLTU besar di Jawa. PLTU Paiton menyumbang 3000 Mw, Suralaya 3400 Mw, namun semuanya menggunakan energi fosil sebagai sumber pembangkit energinya.
Semakin lama, negeri ini akan membutuhkan semakin banyak energi untuk menopang kehidupan. Baik energi untuk pembangkit listrik maupun untuk transportasi. Bahwa jangan selalu bergantung pada energi tak fosil adalah sebuah keharusan. Namun, pernahkah terfikirkan bagaimana kesiapan energi alternatif untuk menggantikan energi fosil sebagai sumber energi utama dunia? PLTG Kamojang sebagai PLTG terbesar di Indonesia hanya mampu menghasilkan 375 Mw listrik. Jauh di bawah cadangan potensial geothermal Indonesia yang mencapai 40% cadangan geothermal dunia.
Dalam peta neraca kelistrikan nasional, Permintaan akan listrik untuk sektor rumahtangga adalah yang paling besar. tahun 2012 tingkat konsumsi listrik untuk rumahtangga telah mencapai 72.133 GWh atau 41,5% dari total pemakaian listrik nasional. Selanjutnya aktivitas industri membutuhkan pasokan listrik mencapai 60.176 Gwh atau 34,6% dari total kebutuhan listrik (www.esdm.go.id). Kebutuhan listrik yang sangat besar baik untuk sektor rumahtangga maupun produksi inilah yang harus direspon dengan cepat agar jangan sampai terjadi krisis energi nasional.
Serangkaian program strategis menuju kemandirian energi nasional sebenarnya telah termanifestasi dalam masterplan MP3EI. Pemerintah memiliki target mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas 10.000 Mw. Merupakan sebuah rencana yang tidak mengada-ada mengingat sentralnya peran listrik bagi perekonomian nasional. Pemerintah dianggap sangat menyadari bahwa kebutuhan energi listrik yang terpenuhi akan sangat mendukung keberlangsungan kegiatan ekonomi.
Indonesia memiliki beragam sumber energi alternatif yang dapat digunakan untuk menggantikan energi fosil. Angin yang berhembus kencang, air yang melimpah, panas bumi, dan masih banyak lagi termasuk nuklir. Namun, kurang adanya keseriusan serta kesukaran untuk merealisasikan dalam waktu singkat adalah sedikit dari banyak alasan yang mampu menjadi jawaban masih bergantungnya kita akan energi fosil. Mengulang pertanyaan diatas, apakah siap sumber energi alternatif tadi untuk menggantikan peran energi fosil? Masihkan kita tidak mau mengakui nuklir sebagai salah satu alternatif energi yang bersih di tengah ancaman akan krisis energi?
Avi Budi Setiawan Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan Unnes/ Peneliti K2EB

MEMAKNAI KELESTARIAN LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Dewasa ini, dunia dihadapkan pada isu pemanasan global. Hampir seluruh Negara satu visi dalam menyikapinya. Negara-negara maju dan berkembang memandang isu ini akan menjadi penghambat kehidupan di masa yang akan datang. Sektor ekonomi pun juga akan merasakan dampak dari efek pemanasan global yang merupakan implikasi menurunnya kualitas lingkungan hidup, pencemaran dan kerusakan alam. Fenomenanya pun kini mulai dapat dirasakan oleh masyarakat. Muka air laut yang meninggi sebagai akibat dari mencairnya es di kutub, musim kemarau yang panjang, pergeseran iklim serta masih banyak lagi. Dunia seakan-akan mencari keseimbangan lingkungan baru dimana aspek polusi dan kerusakan lingkungan tertoleransi didalamnya.
Efek dari pemanasan global tidak hanya berdampak dari sisi lingkungan hidup namun juga berbagai aspek dari sisi ekonomi, dan sektor pertanian salah satunya. Pemanasan global membuat cuaca dan iklim mulai berubah, kemarau panjang, hujan terlalu sering muncul. Sering terjadi kekeringan pada saat kemarau tapi pada saat penghujan banjir juga sering terjadi sebagai akibat dari degradasi lingkungan. Harga beragam komoditas pangan dunia juga cenderung melambung berdasarkan rilis data FAO terbaru.
Sektor industri dianggap menjadi salah satu penyumbang terbesar bencana lingkungan ini. Polusi yang ditimbulkan dari aktivitas industri menyebabkan emisi karbon yang dilepaskan ke udara sangatlah tinggi. Alam tidak dapat menyerap emisi karbon yang dikeluarkan oleh industri. Hal ini, antara lain disebabkan karena alam sendiri terganggu keseimbangannya karena mengalami kerusakan lingkungan. Globalisasi dunia menuntut industri dan sektor ekonomi harus terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin dinamis. Sumberdaya alam akan terus tergerus untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Implikasinya adalah pengambilan sumberdaya alam sebagai bahan baku secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Kini luas hutan lindung di dunia mulai berkurang akibat dari dibukannya lahan perkebunan. Aktivitas pertambangan secara besar-besaran dilakukan pada areal konservasi sumber daya alam. Belum lagi pencemaran lingkungan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan. Lokasi tambang biasanya dibuka pada areal lingkungan terbuka. Mengeruk material yang ada di dalam bumi. Banyak kasus yang menunjukan bahwa lokasi tambang dibuat di tengah hutan lindung yang seharusnya menjadi paru-paru udara. Belum lagi setelah tambang tidak lagi beroperasi, lahan sisa penambangan hanya akan menjadi kawasan rusak yang tidak termanfaatkan dan tidak sehat. Meninggalkan sisa-sisa aktivitas penambangan yang merusak alam, kandungan hara dalam tanah juga telah hilang.
Perkembangan era globalisasi membawa dampak berubahnya pola hidup. Masyarakat cenderung konsumtif dan kurang peduli dengan isu kelestarian lingkungan. Orientasi kehidupan saat ini cenderung pada aspek sosial dan ekonomi bukan keselarasan dengan lingkungan. Polusi industri sudah berada pada level yang tinggi baik polusi tanah, air maupun udara. Hutan yang seharusnya menjalankan peran sebagai penyerap karbon tidak dapat menjalankan fungsi kodrat nya dengan baik karena hutan sendiri telah rusak akibat deforestasi, alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, pertambangan dan lain sebagainya.
Kampanye Perubahan
Masyarakat dunia sebenarnya tidak tinggal diam akan hal ini. Banyak konferensi perubahan iklim digelar untuk mencari solusi konstruktif akan permasalahan yang telah menjadi masalah bersama. Tak kurang Bali Concord, Protokol Kyoto, Protokol Rio dan berbagai konferensi yang melibatkan Negara maju dan berkembang digelar untuk mencari solusi permasalahan isu perubahan iklim dan kerusakan lingkugan hidup. Namun, hasil yang diperoleh belum dapat dikatakan sesuai harapan. Banyak kepentingan yang muncul dan menjadi penghambat upaya memperoleh solusi. Isu jual beli karbon menjadi salah satu isu yang kemudian muncul dan berkembang dimana seolah tanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan dibebankan kepada Negara berkembang. Hal ini sama saja mentoleransi industrialisasi Negara maju yang polutif dan meminta Negara berkembang untuk mengelola pencemaran lingkungan dengan kompensasi finansial. Implikasinya tentu saja alam menjadi rusak karena dipaksa menerima beban polusi.
Menjaga kelestarian hidup sepantasnya tiak dimaknai dengan pelimpahan tanggung jawab untuk menjalankannya. Hal ini merupakan kewajiban bersama dari semua pihak yang mampu dan mau untuk berpartisipasi dan sadar akan arti penting kelestarian lingkungan. Adalah sebuah kritik yang kurang membangun apabila hanya menunjukan dampak kerusakan ekosistem hutan, hilangnya keseimbangan alam, terganggunya habitat flora dan fauna serta berkurangnya lahan hutan. Dimana hal itu terjadi akibat tingginya laju deforestasi. Pertanyaanya adalah apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi hal ini? Padahal kebutuhan manusia semakin besar, resiko polusi juga semakin besar. Upaya menjaga kelestarian hutan seperti apa yang harus dilakukan untuk menjaga dunia? Apakah hanya cukup dengan reboisasi? Sebuah pertanyaan kecil yang menggugah pemikiran semua pihak. “Apa yang dapat kita lakukan?”
Hutan memang menjadi salah satu elemen terdepan dalam menjaga kualitas lingkungan. Menjaga kawasan hutan konservasi adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah pemanasan global. Namun, perlu diingat bahwa aspek penyebab pemanasan global juga perlu untuk mendapatkan sentuhan pemecahan masalah. Apabila hutan dijaga kelestariannya apakah hal itu akan menjamin lingkungan lestari tanpa membatasi laju polusi yang berar-besaran. Bukankah beban hutan sebagai paru-paru dunia akan terus bertambah? Lepas daripada itu semua, perlu ada komitmen untuk menjaga kelestarian hutan dari semua pihak. Bukan hanya pemerintah namun juga masyarakat sekitar hutan, koorporasi, lembaga swadaya dan lain sebagainya. Kesadaran bersama akan pentingnya menjaga kelestarian hutan akan terbangun secara kolektif sehingga kebijakan yang dikonstruksi bersama akan berangkat dengan semangat menjaga kelestarian hutan.
Menjaga kelestarian alam tidak hanya berhenti pada upaya menjaga hutan. Lingkungan sekitar tempat tinggal manusia juga dapat menjadi obyek konservasi lingkungan. Pemahaman akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan tidak hanya terbatas pada upaya menjaga hutan sebagai lokomotif utama namun juga harus dengan serangkaian usaha yang bervariasi dan terpadu. Kelestarian lingkungan tidak hanya dibebankan sepenuhnya pada hutan. Upaya ini dapat dimulai pada kawasan permukiman. Pembangunan ruang terbuka hijau yang efektif dapat dijadikan alternatif. Selama ini, pembangunan ruang terbuka hijau yang dilakukan justru meninggalkan esensi utamanya yakni sebagai penyangga paru-paru kota. Ruang terbuka yang dibangun lebih mengarah kepada penyedia fasilitas publik seperti sarana olahraga, jogging track, lapangan olahraga, arena bermain dan lain sebagainya. Hanya sedikit pohon besar sebagai penyerap karbon yang berada di tengah ruang terbuka sebagai penyerap karbon.
Oleh karena itu, diperlukan penataan kembali dalam pembangunan ruang terbuka yang sesuai dengan kapasitasnya di kawasan kota. Sekiranya membangun hutan di tengah kota dapat menjadi alternatif. Membangun kawasan yang sehat di lingkungan seperti gerakan penghijauan kota dapat dilakukan dari level rumahtangga hingga pelaku usaha. Sekiranya perlu ada kewajiban untuk membuat kawasan hijau pada setiap lokasi hunian. Fasilitas sosial dan publik seperti sekolah, rumah sakit, perkantoran, pabrik juga perlu untuk menyediakan ruang terbuka hijau. Pembangunan taman di atap gedung, di depan rumah dan kompleks perkantoran, di sepanjang jalan protokol, daerah sepanjang sungai dan pada setiap ruang kosong yang ada dirasakan layak untuk diaplikasikan. Esensinya adalah untuk mengurangi beban hutan sebagai penyerap emisi karbon.
Namun, jangan lupakan peran desa sebagai kawasan penyangga utama dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup. Desa yang menjadi sentra pertanian dapat menjalankan fungsi bersama sebagai kawasan penyangga lingkungan hidup dengan cara dilindungi lingkungannya. Perlu dipastikan agar desa tidak kehilangan fungsi dan identitasnya sebagai cagar lingkungan. Menyematkan gelar kepada petani perdesaan, warga sekitar hutan, dan masyarakat yang peduli lingkungan sebagai duta lingkungan hidup sekiranya lebih bermakna dibandingkan memilih duta lingkunagn hidup namun hanya berfungsi normatif saja. Tentu saja hal ini akan dapat berjalan dengan baik apabila ada dukungan dan tauladan dari pemimpin serta kesadaran semua pihak.
Menjaga kelestarian lingkungan tidak hanya dapat dilakukan dari aspek lingkungan saja. Perlu ditelaah kembali tentang alasan lain penyebab kerusakan lingkungan. Selama ini, polusi yang terjadi antara lain disebabkan karena aktifitas ekonomi dan sosial manusia yang cenderung meningkat. Dapat dibayangkan bagaimana berkembangnya industri, pertambangan, perdagangan dan aktivitas ekonomi lain. Aktivitas ini membutuhkan bahan baku dari alam yang besar dan juga akan meninggalkan residu berupa polusi. Sehingga upaya menjaga kelestarian lingkungan juga perlu diselesaikan melalui titik ini.
Konvensi perubahan iklim belum menghasilkan kesepakatan yang jelas terkait upaya pengurangan emisi karbon akibat dari aktivitas industri di Negara maju. Padahal penyumbang emisi karbon terbesar berasal dari Negara maju dan Negara industri besar. Menarik ketika sebuah harian China melaporkan bahwa setiap pagi kota Beijing dan beberapa kota indutri di China selalu tertutup kabut yang mana kabut itu ternyata berasal dari aktivitas industri. Emisi gas buang dari aktivitas transportasi juga menjadi permasalahan yang menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup. Hal ini sebagai dampak dari tingginya aktivitas transportasi yang ditunjukan dengan tingginya permintaan kendaraan bermotor, permintaan akan transportasi umum implikasinya adalah meningkatnya permintaan bahan bakar fosil. Belum lagi kebakaran hutan yang sering terjadi pada saat musim kemarau  juga menjadi kontributor polusi yang mengangu aktivitas.
Sekiranya diperlukan serangkaian inovasi dalam menyikapi permasalahan ini. Pertanyaannya adalah apakah dunia berpangku tangan?. Jawabannya tidak. Banyak inovasi teknologi dilakukan untuk menciptakan teknologi ramah lingkungan. Mulai dari yang masih bersifat prototype hingga yang telah diaplikasikan. Sistem pertanian organik misalnya dikembangkan untuk menjaga kesuburan tanah dan menjaga tanah tidak tercemar kandungan kimia berbahaya. Upaya untuk mengembangkan bahan bakar nabati untuk mengurangi ketergantungan akan bahan bakar fosil yang mulai langka dan cenderung meninbulkan polusi, melakukan efisiensi industri dengan konsep reduce, reuse, recycle dengan maksud agar manusia tidak selalu bergantung pada alam akan penyediaan bahan baku serta memanfaatkan limbah agar tidak menjadi beban lingkungan, mulai beralih ke angkutan umum massal dan masih banyak konsep lain yang sangat cemerlang.
Pertanyannya adalah apakah semua hal ini akan berhasil?. Diperlukan kesadaran kolektif dengan memandang alam merupakan sesuatu yang penting. Industri memang akan selalu menghasilkan polusi. Namun diperlukan manajemen polusi untuk menjaga agar polusi yang diakibatkan dari aktivitas industri tidak menyebabkan lingkungan tercemar. Harus ada mekanisme pengolahan limbah yang tidak berbasis pada konsep asal buang limbah. Koorporasi dianggap perlu untuk selalu peduli dengan lingkungan sekitar melalui corporate social responsibility yang fokus pada penataan lingkungan sekitar, kawasan terdampak polusi industri dan kompensasi sosial bagi masyarakat sekitar. Analisis mengenai dampak lingkungan akibat dari pembangunan selayaknya harus dijalankan secara independen dan tegas.
Menjaga kelestarian lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab alam itu sendiri dengan menciptakan keseimbangan pada alam tersebut. Upaya yang kita lakukan dengan menjaga kelestarian hutan, lingkungan sekitar pada dasarnya adalah menjaga daya dukung alam berada pada keseimbangannya kembali. Namun, sebuah hal besar yang lain adalah bagaimana kita membuat faktor-faktor yang menyebabkan keseimbangan alam terganggu dapat diminimalisir. Sangat naïf apabila menjaga kelestarian alam dilakukan dengan mengurangi jumlah industri, areal tambang, areal perkebunan, dan mengurangi aktivitas ekonomi. Jumlah manusia yang terus bertambah pastinya akan membawa konsekuensi logis berupa kebutuhan mereka yang bertambah pula. Ditambah dengan era globalisasi yang tentu saja membawa dampak perlunya memenuhi kebutuhan manusia yang semakin dinamis. Namun, hal ini perlu dibatasi dengan menggugah kesadaran akan arti pentingnya menjaga lingkungan agar tetap lestari. Sehingga alam akan tetap menemukan keseimbangannya dan tidak ada upaya untuk mengatasnamakan kebutuhan manusia dengan mentoleransi eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran. Oleh karena itu, konsep yang dibangun adalah bagaimana tetap menjaga alam tetap lestari namun juga menjaga agar industri dan aktivitas ekonomi berjalan selaras dengan alam.
Oleh: Avi Budi Setiawan, SE., M.Si. Staf Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Unnes

KEBERSAHAJAAN PETANI GUNUNG

Pagi menyingsing disertai semburat sinar keemasan di cakrawala. Suara kokok ayam dan kepul asap dapur menemani mentari yang datang mencairkan embun. Nampak dari kejauhan beberapa lelaki memanggul cangkul menuju ke ladang, tengah hari baru pulang ke rumah dan kembali lagi sore harinya. Kemudian saat malam tiba mereka akan berkumpul pada suatu tempat untuk sekedar bercengkerama santai membahas kondisi ladang sambil mengisap rokok ditemani secangkir kopi dan berselimut sarung. Nuansa hangat ini tercipta hampir setiap hari dan seolah telah menjadi ritual rutin yang abadi khas masyarakat perdesaan pegunungan.
Seperti itulah kira-kira rutinitas para petani di kawasan pegunungan. Di tengah keletihan fisik mereka tetap menjalankan pekerjaan dengan iklas. Bagi mereka, bertani lebih dari sekedar mata pencaharian. Bertani adalah sebuah proses kehidupan yang harus dijalani dengan iklas. Ketika melihat ladang dan tanaman tumbuh dengan baik, hal itu akan membawa ketenangan batin. Itulah yang mengakibatkan petani umumnya menjalani kehidupan dengan penuh kepasrahan. Dalam interaksi kehidupan sosial pun nuansa kebersamaan dan kehangatan senantiasa dijalankan. Tak pernah lupa bagaimana jiwa gotong royong dan tepo seliro masyarakat desa begitu mengakar kuat hingga menjadi brand image.
Namun, sikap pasrah, polos dan sederhana para petani desa telah memberikan dampak. Semangat untuk mengenyam pendidikan formal biasanya rendah. Sehingga mereka menganggap pendidikan merupakan kebutuhan yang tidak penting dan tidak memberikan manfaat. Rendahnya kesadaran akan tingkat pendidikan membuat petani minim inovasi serta enggan untuk menerima sesuatu yang baru. Kemampuan bertani umumnya diperoleh secara turun-temurun. Keengganan untuk belajar menerima hal yang baru merupakan refleksi dari sikap mempertahankan sesuatu yang telah dikerjakan secara turun-temurun. Sehingga tak heran apabila sering penyuluh pertanian datang memberikan ilmu, informasi, serta membawa metoda bertani yang lebih baik akan sulit diterima. Padahal sektor pertanian sangat membutuhkan inovasi dan update informasi serta pengetahuan, dan itu membutuhkan keterbukaan dari petani untuk menerima hal baru.
Namun, sikap kepasrahan oleh petani ini ternyata juga melahirkan filosofi hidup yang apa adanya dan tidak berambisi. Dimungkinkan kontaminasi dari tingginya taraf pendidikan adalah harapan akan kehidupan yang lebih baik, cerminan dari hal itu tentu saja tingginya ambisi untuk meraih kesejahteraan. Petani umumnya terjaga dari hal itu. Variasi kehidupan mereka lebih terbatas. Jiwa hedonism dan ambisius seolah masih jauh dari petani gunung yang bertempat tinggal di desa-desa dataran tinggi. Hanya ada kepasrahan dalam menerima hidup. Sehingga ketika petani selalu didorong untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka hanya menjawab “nrimo opo ananing pandum”.
Sikap pasrah dan kebersahajaan petani ini memang sering dikritik. Banyak yang mengatakan mereka tidak punya konsep hidup yang jelas. Tidak memiliki ambisi yang nyata. Tanpa ambisi yang kuat untuk berubah mana bisa kehidupan mereka diubah?. Tanpa keinginan yang kuat untuk menerima hal yang baru apa mungkin pengetahuan mereka akan bertambah?. Dengan kata lain, untuk merubah wajah pertanian Indonesia maka rubah dulu wajah petaninya. Tanpa kontribusi dari petani maka tidak akan ada hal besar yag dapat diraih untuk memajukan pertanian.
Namun, sikap pasrah ini ternyata melahirkan filosofi berfikir yang idealis. Sikap ini melahirkan jiwa saling berbagi dan befikir positif. Apabila banyak orang berpendapat bahwa tengkulak itu adalah pengganggu dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani. Maka beberapa petani yang berfikir positif memandang lain. Mereka meyakini bahwa rezeki dari Tuhan bukanlah monopoli. Tuhan memberikan rezeki yang memang harus dinikmati semua orang. Sungguh ini merupakan sebuah pemikiran yang penuh dengan kebijaksanaan hidup. Landasan keyakinan bahwa Tuhan telah memberikan rezeki kepada seluruh makhluknya tanpa terkecuali itu seolah menuntun mereka menjauhi ketamakan, dan ambisi berlebihan. Bagi petani kelelahan fisik itu jauh lebih baik daripada kelelahan pikiran. Pekerjaan berat  yang mereka lakukan sehari-hari, bergumul dengan terik matahari akan berakhir dengan rebah tubuh di pembaringan ketika beristirahat. Namun, ketamakan, ambisi mengejar materi hanya akan membuat hidup menjadi tidak tenang, jauh dari Tuhan dan mendekatkan mereka pada kesombongan.
Maka dari itu, akan kurang tepat apabila dianggap petani desa yang bersahaja ini tidak memiliki konsep hidup yang jelas. Konsep hidup mereka sangatlah jelas yakni menjadi manusia yang taat akan ajaran yang diyakini, senantiasa pasrah akan pemberian Tuhan kepada mereka. Walaupun tidak semua petani desa seperti ini. Tapi setidaknya, ini merupakan contoh dimana masih banyak sikap hidup penuh kepasrahan. Kondisi ini sadar atau tidak telah melanggengkan budaya kearifan yang menjadi kebanggaan bangsa ini.
Sejatinya, perubahan petani adalah sebuah keharusan. Petani modern yang sejahtera adalah mimpi yang harus diperjuangkan. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas petani perlu dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai hal penting. Pendidikan terapan digalakan, teknologi modern mulai diperkenalkan, dorongan, motivasi, kesempatan dan pendampingan kepada petani gunung ini harus selalu dilaksanakan secara kontinyu, dan upaya pelibatan petani dalam rangka memajukan diri mereka sendiri. Namun, merubah wajah petani tidak berarti merubah karakternya. Memodern kan petani tidak harus membuang sikap kebersahajaan mereka. biarlah ciri khas ini tetap ada pada petani desa. tidak ada salahnya apabila filosofi hidup mereka berjalan berdampingan dengan modernisasi pertanian. Karena hal itulah yang nantinya akan menjadi kontrol dan pembeda ditengah jenuhnya dunia akan faham-faham materialistik. Tentu saja kita akan memimpikan petani yang maju, modern, dan kuat. Namun jangan sampai lupa, siapa diri kita sebenarnya, dan darimana kita berasal.

Avi Budi Setiawan, SE.,M.Si
Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang

INDONESIA DI TENGAH EUFORIA MEA

Tahun depan Indonesia akan memasuki era interkoneksi ekonomi antar Negara se Asean, atau yang akrab disapa Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Inilah yang akan menjadi babak baru dalam hubungan international antara Indonesia dan Negara-negara Asia Tenggara. Semangat MEA yang berfilosofi pada integrasi  regional dalam bidang ekonomi diharapkan dapat menjadi stimulus baru dalam percepatan pembangunan ekonomi kawasan yang lebih merata.
Asia tenggara dianggap sebagai poros ekonomi baru yang terus berkembang. Dengan populasi jumlah penduduk mencapai 612 juta jiwa atau 8,7% populasi dunia, plus volume ekonomi yang mencapai USD 2,2 trilyun. Asian tenggara adalah macan baru ekonomi asia. Letak yang strategis diantara jalur pelayaran dan penerbangan paling sibuk di dunia semakin menjadikannya sebagai kawasan yang “seksi” untuk dikembangkan.
Kondisi ini kemudian ditangkap oleh Negara-negara asia tenggara yang tergabung dalam Asean, untuk membentuk suatu komunitas ekonomi yang terintegrasi namun tanpa meniadakan kedaulatan filosofis dalam wadah MEA, atau Asean Economic Community (AEC). Di tengah kelesuan Amerika Utara dan Uni Eropa, ketimpangan di Asia Selatan serta pelambatan di Timur Jauh, Asia Tenggara muncul dengan harapan sebagai kutub baru ekonomi asia. Terdapat Negara-negara yang sangat sejahtera sepeti Singapura dan Brunei Darussalam. Ada pula kumpulan Negara yang melesat cepat macam Malaysia, Thailand, Vietnam. Meskipun tak menampik adanya beberapa Negara yang masih tertinggal seperti kamboja, Laos, Myamar dan Timor Leste 
Bagaimana dengan Indonesia? Negara terbesar di Asia Tenggara, dengan volume ekonomi 38,8% dari total volume perekonomian Asean. Indonesia adalah satu-satunya Negara Asean di forum G 20, atau 20 negara yang memiliki volume  ekonomi terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk mencapai 236,7 juta jiwa, Indonesia adalah  leader sekaligus pasar yang paling besar. Posisi ini tentu saja sangat menguntungkan dari segi geopolitik, ekonomi, demografi dan beragam aspek lain.
MEA sendiri dikonsepkan sebagai sebuah kawasan yang terintegrasi secara ekonomi. Sehingga mobilitas barang dan jasa serta beragam aktivitas ekonomi akan semakin mudah dan tanpa batas. MEA lebih dari sekedar zona perdagangan bebas. MEA diharapkan akan menciptakan keselarasan dalam aktivitas perekonomian yang lebih komprehensif dan integral dalam balutan semangat persaudaraan Asean.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, siapkah Indonesia menghadapi MEA?. Data BPS menunjukan bahwa tahun 2012 Indonesia justru mengalami defisit neraca perdagangan dengan Negara-negara Asia Tenggara lain. Indonesia mengalami defisit USD 2,65 Milyar dengan Malaysia; USD 8,9 Milyar dengan Singapura; USD 4,8 milyar dengan Thailand dan USD 321 juta dengan Vietnam. Memang benar apabila esensi dari perdagangan internasional bukanlah pada surplus dan deficit neraca perdagangan tapi lebih kepada keterpenuhan kebutuhan domestik. Namun,akan menjadi kurang sehat bila produsen domestik tidak berdaya saing di negeri sendiri di tengah kompetisi global.
Konstelasi perekonomian di kawasan semakin mengisyaratkan bahwa setelah ACFTA (Asean China Free Trade Area) diterapkan pada 2010, Indonesia cenderung berperan sebagai pasar produk Negara lain saja. Hal ini dibuktikan dengan performa neraca perdagangan kita dengan Negara Asean lain beberapa tahun belakangan yang menunjukan tren defisit.
Terlalu prematur untuk pesimis, terlambat pula untuk mempertanyakan  kesiapan Indonesia menghadapi MEA yang akan dimulai tahun depan. Mungkin, pertanyaan sederhana yang selayaknya dimunculkan terlebih dulu adalah, “Tahukah rakyat kita dengan MEA? Dan apakah mereka mengetahui akan dilaksanakan tahun depan?”.
Gaung MEA saat ini kurang begitu didengar oleh masyarakat khususnya golongan awam. Minimnya informasi yang dapat diakses, tingkat urgensi terhadap realitas sosial, pragmatisme masyarakat itu sendiri hingga rendahnya sosialisasi dianggap menjadi alasan. Disinilah sebetulnya letak permasalahan besar yang utama. Disaat energi semua pihak terkuras pada debat mengenai kesiapan menghadapi MEA. Apakah masyarakat Indonesia sebenarnya sudah tahu bahwa kita akan menghadapinya tahun depan?.
Beberapa survey dan kajian menunjukan bahwa hanya masyarakat golongan tertentu saja yang tahu dan paham akan MEA. Masyarakat awam yang umumnya mayoritas justru belum mengetahui. Jangankan untuk tahu akan dilaksanakan tahun depan, untuk sekedar mengetahui apa itu MEA tidak semua orang akan mengerti. Hal inilah yang justru sangat penting. Bagaimana mungkin akan siap apabila mengetahui saja tidak.
Saatnya Akselerasi Informasi
Diperlukan sosialisasi dan edukasi yang massif untuk menyampaikan pesan MEA kepada masyarakat luas. Karena masyarakat lah nantinya yang menjadi pemain sebenarnya. Jangan sampai kejadian yang sama terulang. Masyarakat banyak yang belum mengetahui ACFTA dan tiba-tiba Indonesia sudah mengalami defisit neraca perdagangan dengan Negara-negara Asia Tenggara. Akan sangat disayangkan apabila saat ini MEA hanya menjadi bahan seminar di kampus-kampus, diskusi dan rapat di institusi Negara, serta agenda meeting perusahaan-perusahaan besar atau tema konferensi tingkat tinggi kenegaraan.
MEA harus membumi disosialisasikan kepada masyarakat luas. Jangan sampai masyarakat suatu saat terkejut dengan eksodus tenaga kerja asing ke Indonesiasebagai tanda telah dimulai. Adalah sebuah kesalahan fatal jika membiarkan masyarakat pada ketidak pahaman dalam menyikapi MEA karena ketidak tahuan informasi. Selain itu, semangat MEA harus dipandang sebagai semangat pemerataan kesejahteraan dan untuk kemajuan bersama Negara Asean, bukan semangat menguasai Negara lain.
Dampak dari ketidak tahuan tentu saja adalah ketidak siapan. Di saat Negara-negara lain tengah bersiap menghadapi MEA, Indonesia harus mempercepat kesiapan di tengah upaya sosialisasi yang massif. Oleh karena itu, gaung MEA harus didengungkan lebih keras sembari mempersiapkan daya saing sektor-sektor ekonomi agar dapat berkompetisi di pasar Asia Tenggara. Sembari memastikan bahwa semangat MEA adalah untuk pemerataan pembangunan di Asia Tenggara.
Avi Budi Setiawan: Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Unnes; Peneliti K2EB

ENERGI NABATI: PELUANG ATAU ANCAMAN BAGI SEKTOR PERTANIAN

Dewasa ini, kebutuhan akan energi cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Aktivitas transportasi semakin berkembang yang ditandai dengan melambungnya jumlah kendaraan bermotor dan tingginya mobilitas manusia. Sektor perdagangan dan industri juga mengalami peningkatan pesat di era modern sekarang ini. Kesemuanya itu membutuhkan energi sebagai penggerak aktivitas. Awalnya, sumber energi konvensional menjadi penopang utama pembangkit energi.  Minyak bumi, gas alam, dan batu bara menjadi primadona karena persediannya melimpah dan pertimbangan harga yang murah. Negara-negara yang mendapatkan “warisan” sumber energi ini tumbuh menjadi negara kaya dan sejahtera. tengok saja negara-negara Jazirah Arab, Rusia, negara pecahan Uni Sovyet,  Brunei Darussalam dan beberapa negara lain yang mampu lepas dari jerat kemiskinan developing country karena topangan ekspor energi sebagai penggerak perekonomian.
Namun, sejatinya manusia mulai terlena. Sumber energi murah dan melimpah tadi sebenarnya adalah energi yang tak terbarukan (non renewable resources). Butuh berapa juta tahun untuk kembali menghasilkan minyak bumi, gas alam, dan batu bara dari dalam perut bumi. Di sisi lain, kebutuhan akan suplai energi selalu meningkat setiap harinya. Energi yang dihasilkan juga bukanlah energi yang bersih dan ramah lingkungan. Penggunaan sumber energi yang tak terbarukan juga mendorong polusi besar-besaran karena sisa pembakaran akan menghasilkan emisi karbon dioksida yang berbahaya bagi lingkungan. Data dari United Nation Statistic Division, MDGS Indicator menyebutkan bahwa emisi gas karbon dioksida di seluruh saat ini telah mencapai 29.319.295 metric ton, hal inilah yang dianggap menjadi salah satu kontributor terhadap terjadinya global warming.
Gagasan pengalihan ke sumber energi yang bersih dan ramah lingkungan telah dimulai sejak beberapa dekade yang lalu. Bahkan beberapa negara telah memulai dan menjadi pionir. Sebut saja Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat yang telah mulai menggunakan energi nuklir sebagai pembangkit listrik. Belanda yang mulai menggunakan energi angin dan lain sebagainya. Akan tetapi, penggunaan energi alternatif tadi meskipun relatif lebih bersih, efisien dan terbarukan bukannya berjalan tanpa kendala. Energi nuklir yang secara teknis memiliki kemampuan pembangkit yang paling besar ternyata tidak aman bagi lingkungan dan manusia terkait efek radioaktif yang ditimbulkan. Banyak bukti yang menunjukan betapa berbahayanya radiasi energi nuklir apabila mengalami kebocoran dalam penggunaan seperti kasus pebangkit listrik tenaga nuklir Chernobil di Rusia dan Fukushima di Jepang yang mengalami kebocoran reaktor nuklir hingga menjadi bencana umat manusia.
Pemanfaatan energi alternatif seperti air, angin, surya, geothermal, dan beberapa sumber energi yang lain juga telah menjadi inovasi yang telah banyak diaplikasikan. Namun, hal itu dianggap belum dapat menjawab tantangan besar untuk  mengatasi permasalahan keberlangsungan energi dunia. Sumber-sumber energi tadi memang lebih terbarukan. Namun, belum mampu menggantikan sumber energi konvensional karena keterbatasan kapasitas produksi, inefisiensi, skala ekonomi, hingga kurangnya dukungan dari stakeholders dan semua pihak.
Kemudian muncul gagasan untuk mengembangkan energi nabati. Salah satu dasar pertimbangannya adalah mulai terbatasnya bahan bakar minyak untuk menopang kehidupan manusia terlebih untuk transportasi. Harga minyak dunia cenderung mengalami tren kenaikan bahkan pernah menyentuh harga $135/ barrel. Harga bensin dan bahan bakar pun melambung tinggi hingga menyentuh harga Rp.6000, bahkan di eropa menyentuh harga 23.000/ liter sebagai dampak dari reaksi antara permintaan dan keterbatasan pasokan karena bentuk dari ketidak seimbangan permintaan dan penawaran. (http://www.mytravelcost.com/petrol-prices/).
Guru Besar FT UGM, Prof. Ir. Suryo Purwono, M.ASc., Ph.D memperkirakan pasokan minyak bumi Indonesia diprediksikan akan habis pada tahun 2020 apabila tidak dilakukan tindakan. Sedangkan gas alam dan batubara masih 40 sampai 60 tahun lagi. (http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1565). Kondisi ini mendorong berkembangnya gagasan untuk mengembangkan energi nabati yang mampu mensubtitusi energi tak terbarukan.
Masyarakat mulai melihat energi terbarukan sebagai subtitusi energi tak terbarukan. Pilihan tentu saja jatuh kepada produk-produk nabati yang mampu menghasilkan energi alternatif pengganti BBM. Lalu dikembangkanlah tanaman jarak, kelapa sawit, kelapa, dan lain sebagainya. Budidaya tanaman-tanaman tersebut digalakkan sedemikian rupa. Tujuannya adalah membuat subtitusi bensin, solar, minyak tanah dan akan digantikan dengan BBM  dari bahan baku nabati yang disebut biofuel.
Indonesia pun tidak tinggal diam dengan fenomena kelangkaan energi dan inovasi energi nabati. Perkebunan-perkebunan baru banyak dibuka guna mensuplai pasokan bahan baku untuk sumber energi nabati. Sebagai contoh, Pemerintah dan swasta telah membuka perkebunan biji jarak di Jawa Tengah dan luar Jawa. Masih kurang dengan tanaman-tanaman yang menjadi bahan baku biofuel yang dianggap sulit untuk dikembangkan dalam skala besar. Kemudian muncul serangkaian ide dan inovasi untuk membuat sumber energi dari tanaman yang lebih familiar, tersedia dalam jumlah yang banyak, dan memiliki nilai jual murah. Akhirnya produk pertanian yang biasa dibudidayakan dari petani mulai dilirik untuk dijadikan sumber bahan bakar nabati. Jagung, tebu dan kacang-kacangan mulai dikembangkan sebagai bahan baku energi alternatif berkonsep nabati.
Hal ini merupakan salah satu inovasi yang konstruktif ditengah kelangkaan dan ancaman akan keberlangsungan energi fosil seperti BBM. Lambat laun peran BBM akan digantikan oleh energi yang terbarukan. Bahkan, implementasinya sekarang pun banyak SPBU telah memasarkan bahan bakar alternatif yang berbasis pada energi nabati. Spesifikasi dan penggunaannya pun dirancang sama dengan BBM konvensional, sehingga konsumen tidak perlu merubah spesifikasi kendaraan secara signifikan untuk menggunakan biofuel pada kendaraan mereka. Ini adalah bentuk langkah maju yang sangat perlu diapresiasi dan terus dikembangkan.
Secara teknis biofuel juga dianggap lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan emisi karbon dioksida yang berlebihan. Sehingga polusi yang ditimbulkan juga tidak begitu besar. aspek keramahan lingkungan inilah yang menjadi daya tarik pengembangan biofuel selain karena pertimbangan sebagai sumber energi yang terbarukan.
Penggunaan sumber pangan seperti jagung, gandum, ketela, kedelai, kacang-kacangan, dan tebu untuk bakan baku biofuel banyak dianggap memberikan dampak positif bagi keberlangsungan proyek energi terbarukan. Selain bahan baku tersebut tersedia dalam kapasitas yang besar dan telah dibudidayakan secara massal. Keuntungan lainnya adalah terdongkraknya harga komoditas-komoditas tersebut karena efek permintaan dan penawaran. Sehingga secara langsung petani pembudidaya akan diuntungkan dengan harga jual yang semakin baik.
Pertimbangan dari penggunaan komoditas pertanian sebagai sumber energi alternatif ini merupakan bentuk dari diversifikasi bahan baku energi alternatif. Mengingat akan cukup sulit mengembangkan tanaman jarak dalam skala besar, akan cukup sulit juga mengkonversi kelapa sawit dan kelapa dari fungsi aslinya sebagai bahan baku industri. Sehingga tanaman pertanian lah yang dilirik, karena memiliki kapasitas produksi yang besar, pembudidayaannya cenderung lebih familiar, jaminan pasar yang jelas, serta apabila dicanangkan sebuah gerakan besar untuk menanam komoditas-komoditas tadi tentu saja akan lebih  mudah dalam penggalangan.
Bahaya Bagi Sektor Pangan
Akan tetapi, apakah penggunaan sumber pangan sebagai bahan baku energi alternatif akan benar-benar membuat keadaan menjadi lebih baik? Bisa dibayangkan, berapa ribu ton jagung, kedelai, tebu dan kacang-kacangan yang harus diproduksi untuk menggantikan 835.000 ribu barrel minyak yang diproduksi kilang minyak Indonesia dalam satu harinya. Atau jika kita tidak ingin berfikir terlalu jauh dengan langsung mengganti minyak bumi dengan bahan pangan. Jika di subtitusi sedikit saja BBM konvensional yang kita gunakan dengan bahan pangan sebagai sumber energi nabati, berapa juta ton cadangan pangan yang akan dihabiskan untuk membuat bahan bakar?
Apakah pemikiran ini bijak atau tidak. Tetapi, dengan mengganti BBM konvensional menjadi biofuel bukankah akan mengakibatkan keseimbangan harga pangan terganggu? Masyarakat selama ini dihadapkan dengan gejolak harga bahan pangan yang semakin naik melebihi daya jangkau mereka terlebih masyarakat berpendapatan rendah. Baiklah, jika mungkin pendapat ini dibantah dengan  argumen yang menyatakan kondisi taraf hidup manusia saat ini semakin baik, dimana ditandai dengan tingkat kemiskinan yang berhasil ditekan dan pendapatan perkapita yang naik. Tetapi, bukankah dengan penggunaan sumber pangan untuk energi alternatif akan mengakibatkan cadangan pangan menjadi terganggu? Terlebih dunia saat ini dihadapkan dengan permasalahan pangan. Produksi pangan yang ada saja belum tentu mampu mencukupi kebutuhan konsumsi.

Kita dihadapkan pada permasalahan penambahan fungsi komoditas pangan menjadi sumber energi alternatif. Permasalahannya, kita ada di Negara yang belum mampu menghasilkan bahan pangannya secara mandiri. Jika, jagung, gula, kedelai, beras, gandum saja Indonesia masih perlu mengimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, maka bagaimana mungkin kita akan memproduksi bahan bakar nabati dengan bahan baku yang rakyat kita sendiri masih memerlukan untuk kebutuhan pangan mereka dan bahan baku itu tidak dihasilkan sendiri. Bangsa ini masih dihadapkan pada permasalahan kerawanan pangan. Kebutuhan pangan kita sendiri saja masih mendesak untuk dipenuhi hingga pada posisi aman pangan. Dan apabila komoditas pangan yang terbatas tadi ditambah bebannya untuk bahan baku energi alternatif maka apa yang akan terjadi?
Sudah selayaknya mungkin bangsa ini berfikir lebih arif. Tidak perlu tindakan reaktif yang berlebihan dalam menyikapi keadaan. Memang benar bahwa kita tidak bisa berfikir konservatif dengan menutup semua inovasi menggunakan fakta pesimis. Pengembangan energi alternatif dengan konsep biofuel selayaknya harus kita dukung bersama. Akan tetapi, mungkin lebih baik jika penggunaan bahan pangan sebagai sumber energi alternatif itu dikaji ulang. Akan banyak dampak negatif yang muncul apabila bahan pangan juga menjadi sumber energi alternatif.
Akan lebih baik jika fokus pemikiran diarahkan kepada peningkatan produksi pangan dalam negeri sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada pangan. Sehingga kita akan mampu menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dari sawah-sawah dan ladang di tanah air sendiri. Bangsa ini bisa menghasilkan beras, jagung, kedelai, tebu dari tangan-tangan petaninya sendiri. Sehingga kita akan menjadi bangsa yang memiliki ketahanan pangan kuat dan mandiri pangan. Bukankah disitulah esensi kita sebagai bangsa yang besar akan terlihat.
Mungkin jika negeri ini sudah mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan swasembada barulah implementasi tentang penggunaan komoditas pangan sebagai sumber energi alternatif dikembangkan dengan serius. Namun, sekali lagi akan lebih bijak jika komoditas pangan dikembalikan ke fungsi aslinya yakni sebagai bahan pangan. Tujuannya adalah menjaga keberlangsungan produksi dan keterjangkauan harga. Mengingat kecenderungan dunia sekarang adalah laju alihfungsi lahan pertanian yang semakin mengancam sehingga akan mengancam produksi tanaman pangan.
Manfaatkan Komoditas Non Pangan
Proyek energi nabati harus tetap berjalan. Banyak komoditas pertanian, perkebunan, dan bahan baku lain yang dapat dikembangkan sebagai sumber energi nabati. Negeri ini tak kurang inovator yang mampu membuat inovasi membanggakan guna memecahkan masalah ini. Tanaman-tanaman non pangan dianggap layak untuk kembali dikembangkan dengan dukungan penelitian dan pengembangan. Banyak proyek besar yang terhambat namun harus kembali dijalankan. Biji jarak, kelapa dan komoditas pertanian lain bisa dijadikan alternatif dan sebenarnya telah dikembangkan dengan baik. Banyak lahan tidur, lahan kritis dan lahan sisa penambangan yang dapat dimanfaatkan untuk penanaman komoditas pertanian tadi guna menjadi bahan baku energi alternatif. Sehingga program energi alternatif akan berjalan selaras dengan pelestarian lingkungan dan peningkatan produksi sektor pertanian. Bahkan, proyek kendaraan listrik yang ramah lingkungan dapat diintegrasikan dengan program energi alternatif ini. Sistem transportasi dapat di diversifikasi dengan kendaraan listrik yang dibangkitkan dari pembangkit listrik energi terbarukan. Dimana semua itu merupakan program lintas sektoral yang berbasis pada kemandirian pangan dan konservasi lingkungan

Avi Budi Setiawan
Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang

DILEMA PANGAN NASIONAL

Penyediaan  pangan menjadi salah satu agenda nasional yang masih membutuhkan jawaban. Hal ini terjadi mengingat pemenuhan pangan mandiri masih jauh di bawah harapan. Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan nasional. Adapun produksi bahan pangan dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan pangan yang semakin tinggi.
Data Kementerian Perdagangan menunjukan, sepanjang 2013 impor komoditas pangan Indonesia mencapai USD 3,8 Milyar. Bahkan untuk beras, jagung, kedelai dan gula Indonesia belum dapat berswasembada. Tercatat selama tahun 2013 indonesia telah mengimpor 470 ribu ton beras, 1,7 juta ton kedelai dan 2,7 juta ton gula rafinasi.
Tingginya kebutuhan pangan tidak dapat diimbangi dengan produksi dalam negeri. Petani lokal compang-camping untuk mencukupi pangan rakyat Indonesia. Data BPS menyebutkan, selama tahun 2013 produksi beras di kisaran 39 juta ton; kedelai 800 ribu ton dan gula 2,5 juta ton. Sedangkan konsumsi domestik untuk beras mencapai 34 juta ton; kedelai 2,4 juta ton, dan gula baik konsumsi maupun rafinasi mencapai 5,2 juta ton. Sebenarnya terjadi suplus pada komoditas beras, namun surplus ini tidak cukup untuk menjaga cadangan pangan hingga level aman.
Ketidak mampuan domestik dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional disebabkan karena beragam permasalahan kompleks. Namun, salah satu penyebab utamanya adalah menurunnya luas lahan pertanian, khususnya di kawasan lumbung pangan. Di Pulau Jawa misalnya, laju alih fungsi lahan pertanian mencapai 200.000 Ha per tahun. Khudori (www.berdikarionline: 2013). Bagaimana mungkin produksi pertanian dapat ditingkatkan apabila faktor produksi yang paling vital justru mengalami penurunan kuantitas.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi membawa dampak pada besarnya konsumsi akan bahan pangan. Namun, negeri ini berhadapan dengan kodisi yang sangat dilematis. Tingginya aktivitas ekonomi membutuhkan ketersediaan lahan yang besar sebagai sarana pendukung fisik. Sedangkan cara yang paling mudah dan murah untuk memenuhinya adalah dengan mengalih fungsi lahan pertanian. Penggunaan lahan diperluas sebagai respon dari berkembangnya aktivitas ekonomi modern.
Akhirnya lahan pertanian yang menjadi korban. Harga yang murah dan lokasi yang strategis dianggap menjadi pertimbangan khusus. Selain itu, tidak adanya perlindungan terhadap lahan agar tidak dialih fungsikan turut menjadi alasan lain. Disaat yang sama, lahan  pertanian sediri tengah berhadapan dengan kondisi diminishing return akibat berkurangnya kesuburan tanah karena over exploitated. Sehingga bagi sebagian  petani pemilik lahan, lebih menguntungkan apabila lahannya dijual untuk di alih fungsi kemudian berfikir untuk beralih profesi karena bertani tidak menjanjikan lagi.
Kondisi ini yang berbahaya. Pertambahan  jumlah penduduk ternyata diikuti dengan penurunan  luas lahan pertanian. Aktivitas manusia yang bertambah banyak membutuhkan penambahan cakupan ruang sehingga memunculkan kelaziman alihfungsi lahan dan jamak terjadi di Jawa. Padahal Pulau Jawa dikenal sebagai lumbung pangan nasional dengan lahan yang subur.
Sayangnya, Jawa telah menjadi magnet pertumbuhan ekonomi Indonesia dimana motor penggeraknya justru bukan sektor pertanian. Jawa muncul sebagai kutub pertumbuhan yang mengundang semua orang untuk mengecap manisnya “gula” perekonomian. Namun, transformasi Jawa menjadikan sektor pertanian terpinggirkan, diganti dengan sektor-sektor modern seperti industri, perdagangan, hunian dan jasa. Lahan-lahan subur tadi tertutup oleh lautan beton dan aspal. Menjadi petani tak lagi menjanjikan. Sehingga tak ada lagi proteksi sosial dan regulatif kepada sawah-sawah hijau.
Saat inilah seharusnya menjadi titik balik. Perlu ada upaya penyadaran akan arti pentingnya perlindungan lahan pertanian demi kepentingan yang lebih besar, “kedaulatan pangan nasional”. Adalah sebuah ironi ketika Pemerintah pusat kesulitan mencari lahan tanam kedelai demi mewujudkan mimpi swasembada. Sedangkan di sisi lain, kawasan-kawasan industri baru muncul dengan mengorbankan lahan pertanian.
Perlindungan lahan pertanian dalam payung UU No 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan berkelanjutan selayaknya perlu dikawal hingga level daerah. Sehingga akan langsung terimplementasi dalam bentuk Perda. Disinilah letak pentingnya sinergi pusat dan daerah dalam kerangka kebijakan pertanian yang holistik. Selama ini, upaya perlindungan lahan pertanian dirasakan masih kurang. Hal ini terbukti dengan menurunnya luas lahan pertanian. Pemerintah daerah dalam era otonomi memegang peran sentral melalui instrumen kebijakan yang sinergis dengan satuan SKPD. Tentu saja tugas besar tersebut akan lintas sektoral antara pertanian, pertanahan, perencanaan, tata ruang, pekerjaan umum dan lain sebagainya.
Sudah saatnya untuk tidak lagi bergantung kepada Jawa sebagai lumbung pangan. Luas Pulau Jawa Tidak lebih dari 12% luas Indonesia. Namun Jawa telah memasok lebih dari 60% kebutuhan pangan nasional. Masih ada 88% belahan lain bumi pertiwi yang menanti untuk dilirik dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sangat sulit apabila harus “memaksa” jawa menambah lahan pertanian. “Gula” pertumbuhan ekonomi perlu disebar. Nusa tenggara, Papua, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan adalah lumbung-lumbung potensial yang menanti untuk disentuh dengan investasi, kerja keras dan komitmen.
Thomas Robert Malthus (1776-1824) pernah menyatakan dalam teorinya bahwa “jumlah penduduk akan bertambah menurut deret ukur, sedangkan bahan pangan akan bertambah menurut deret hitung”. Memang benar bahwa teori tersebut tidak terbukti secara presisi. Namun lebih daripada itu, esensi teori tersebut sebenarnya telah tersampaikan. Bahwa dunia tengah berhadapan dengan ancaman ketidak mampuan pemenuhan kebutuhan pangan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang bergerak lebih cepat.
Avi Budi Setiawan, SE., M.Si: Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan FE UNNES; peneliti K2EB

BELAJAR DARI RESTORASI MEIJI

Pertengahan 1868, cerita baru terukir dalam sejarah Jepang. Negeri itu keluar dari keterbelakangan yang membelenggu selama kurang lebih 200 tahun. Ditandai dengan pengembalian kekuasaan kepada kaisar Mutsuhito atau yang kemudian dikenal sebagai kaisar Meiji dan menjadi tanda berakhirnya zaman Edo. Zaman dimana Jepang menganut paham sakokunya (terisolir) dari dunia luar.
Pada era restorasi, Jepang dipimpin oleh seorang kaisar muda yang visioner. Di tangan kaisar Meiji Jepang menjelma menjadi Negara yang modern. Keluar dari keterasingan dengan semboyan fukoku kyouhei (Negara makmur, militer kuat). Restorasi Meiji memberi dampak pada percepatan industrialisasi dan transformasi ekonomi, walaupun juga membawa konsekuensi hilangnya beberapa tradisi khas yang bertahan turun-temurun.
Apa yang menarik dari restorasi Meiji? Sepintas tidak ada yang berbeda dengan revolusi besar yang terjadi di dunia pada abad sebelumnya seperti di Perancis, Inggris dan Amerika. Tetapi, butuh ratusan tahun bagi Negara-negara tadi mencapai titik “golden rule” seperti yang di cita-cita kan. Berbeda dengan Jepang yang hanya butuh waktu tak lebih dari lima dekade untuk melaju pesat menyamai Negara-negara barat.
Menjadi Negara yang modern, maju dan kuat, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai ke timuran yang telah menjadi budaya adalah visi besar restorasi meiji. Lepas dari aroma politik dan lika-liku yang mengikuti. Kini Jepang telah tumbuh menjadi Negara maju di dunia. Jepang menjadi salah satu kiblat teknologi canggih dan mencatatkan GDP USD 5,96 Trilliun.
Keberhasilan restorasi Meiji dirasakan berasal dari dua kunci besar. Yakni kemampuan untuk belajar dengan cepat dan karakter dasar masyarakat Jepang itu sendiri yang ulet. Awalnya, masyarakat Jepang baru menyadari bahwa mereka telah jauh tertinggal dari Negara lain. Maka, salah satu cara untuk mengejar ketertinggalan itu adalah dengan pendidikan. Sembari tetap menjaga nilai-nilai keluhuran yang telah diwariskan. Nilai-nilai tradisional itulah yang nanti akan melindungi Jepang dari godaan imperialisme modern yang cenderung hedonis.


Belajar dengan cepat
Tak butuh berapa lama. Jepang disulap menjadi Negara yang modern setelah mulai membuka diri dengan dunia luar. Infrastruktur, teknologi, hingga tatanan kehidupan sosial tersentuh modernitas barat. Tapi rakyat Jepang menyadari, mereka tidak boleh hanya sebagai penikmat teknologi dan euforia kemajuan. Mereka harus mandiri serta menjadi penggerak modernisasi di masa yang akan datang, setara dengan Negara-negara barat.
Untuk mencapai cita-cita itu, anak-anak muda yang potensial dikirim belajar ke luar negeri. Tujuannya jelas, mencari ilmu sebanyak mungkin, kemudian pulang dan diterapkan di Jepang. Mereka inilah yang kemudian pulang dan turut dilibatkan membangun Negara. Sembari mengundang ahli-ahli dari barat untuk bekerja membangun Jepang.
Etos kerja yang tinggi dibalut dengan kedisiplinan telah menjadi karakter khas masyarakat. Sikap ini yang membuat anak-anak muda yang belajar di luar negeri tadi menjadi duta restorasi Meiji. Kini Jepang menikmati buah investasi yang dibangun ratusan tahun lalu. Jepang telah menjelma menjadi raksasa baru dunia dan disegani pada era perang dunia hingga saat ini.
Restorasi membawa modernisasi yang toleran. Tetapi karakter asli masyarakat Jepang tidak pernah hilang. Kedisiplinan, etos kerja tinggi, sikap menghargai waktu dan kerja keras turut mengantar restorasi berlangsung cepat. Jepang bukanlah negara yang kaya sumber daya alam. Mereka hanya mengolah sumber daya alam dari negara lain. Negeri ini pun juga rawan bencana dan kalah telak pada perang dunia 2. Tapi begitu cepatnya Jepang bangkit dari keterpurukan hingga mencapai kemajuan dengan sangat cepat.
Misi besar yang diusung adalah menjadi negara modern namun tetap menjunjung norma ketimuran. Walau  telah menjadi negara maju, masyarakat tetap menjunjung tinggi budaya asli. Orang Jepang mempunyai rasa malu yang tinggi namun gengsi nya rendah. Masih lekang dalam ingatan bagaimana mantan PM Taro Aso meminta maaf dan langsung mengundurkan diri karena merasa gagal membawa kemajuan bagi Jepang dan kembali maju ketika diminta untuk melunasi hutang sebagai “pelayan” rakyat. Restorasi telah sukses mengantar Jepang kepada kemajuan lewat modernisasi namun juga tetap mempertahankan nilai-nilai warisan budaya dengan harmonis.
Apa yang telah dialami Jepang selayaknya menjadi pelajaran bagi Indonesia. Negeri  ini tak kurang cerita heroik untuk membakar semangat. Indonesia juga relatif memiliki kesamaan dengan Jepang dalam banyak segi. Bahkan Indonesia memiliki keunggulan dari sisi sumber daya alam. Dalam hal ini, membangun pendidikan seperti keberhasilan Jepang patut ditiru. Faktor ini adalah elemen yang sangat vital. Pendidikan dapat mengikis mindset tradisional yang destruktif terhadap kemajuan dan mampu membuka jendela inovasi serta modernisasi.
Selanjutnya, pendidikan moral layaknya dibenahi. Negeri ini harus membudayakan rasa malu atas kesalahan yang dibuat. Sembari mengikis sifat-sifat hedonisme, meterialistik sebagai konsekuensi logis dari imperialisme modern. Rasa gemar untuk belajar serta menjunjung tinggi ilmu pengetahuan harus membudaya. Seraya memastikan bahwa nilai-nilai kearifan lokal terus dipertahankan, karena nilai itulah yang menjadi daya saing dan tameng pelindung terhadap degradasi sosial. Banyak inspirasi besar yang bisa ditiru. Lihat bagaimana Bupati Bantaeng Sulawesi Selatan, Walikota Bandung dan Surabaya sukses membangun daerahnya masing-masing dengan semangat perubahan yang cerdas tapi tetap mempertahankan nilai kearifan lokal. Restorasi adalah semangat perubahan yang hanya dapat dimulai dengan semangat kecintaan kepada tanah air. Seperti success story Kaisar Meiji.
Avi Budi Setiawan, SE., M.Si: Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan FE UNNES; peneliti K2EB

MENYOAL KENAIKAN HARGA ELPIJI

Sepekan ini energi kita seolah habis untuk membahas beberapa isu penting nasional. Salah satu yang terhangat adalah langkah Pertamina untuk menaikan harga tabung gas elpiji (liquided Petroleum Gas). Hal ini “terpaksa” dilakukan untuk mengurangi beban kerugian dari unit usaha penjualan gas elpiji.
Seperti biasa, setiap kebijakan menaikan harga yang diambil Pertamina maka akan diikuti dengan gelombang protes dan kecaman publik. Beberapa kalangan mengangap langkah Pertamina menaikan harga elpiji adalah bentuk ketidak tepatan. Namun, untuk menaikan harga jual elpiji kemasan tabung 12 kg Pertamina tidak memerlukan persetujuan dari DPR. Karena elpiji 12 kg tidak memperoleh subsidi dari Negara. Ketua BPK Hadi Poernomo menyatakan bahwa untuk menaikan harga elpiji Pertamina harus mengacu pada setidaknya empat hal yakni harga Patokan elpiji, kemampuan daya beli konsumen, kemampuan distribusi, serta koordinasi saat menaikan harga. (Kompas, 6 januari 2014)
Sebagai koorporasi, Pertamina  tentu saja harus mempertahankan skala ekonomi. Tidak mungkin Pertamina menanggung kerugian terus menerus dengan menjual gas elpiji tanpa penyesuaian harga. Menurut Pertamina, upaya penyesuaian harga harus dilakukan karena naiknya harga elpiji di pasar internasional dan efek pelemahan nilai tukar rupiah. Pertamina tidak akan sanggup menahan beban kerugian yang mencapai 7,7 Triliun. Nulai tukar yang menembus Rp12.200 per dollar amerika juga cukup memukul impor elpiji Indonesia.
Saat ini kebutuhan elpiji dalam negeri mencapai 5,6 juta metric ton. Sedangkan produksi Pertamina hanya sekitar 560.000 metric ton. Hanung Budya selaku direktur pemasaran dan niaga Pertamina menyatakan komposisi produk elpiji impor dan domestik sampai November 2013 mencapai 59% impor, produksi domestik dari pihak swasta 30,7%, dan produksi dari eks kilang Pertamina sebesar 10,1%. (detik.com, 6 januari 2014)
Dampak kenaikan harga elpiji sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Efek pertama adalah langkanya tabung elpiji di pasaran. Harga elpiji kemasan tabung 12 kg naik tajam, dari awalnya di kisaran Rp. 75.000  hingga menyentuh Rp. 125.000/ tabung. Lebih daripada itu, masyarakat kini juga telah mulai beralih dari elpiji tabung 12 kg ke elpiji tabung 3 kg yang harganya disubsidi pemerintah. Migrasi inilah yang membuat elpiji tabung 3 kg kini semakin langka di pasaran. Dampaknya pada harga elpiji 3 kg yang ikut merambat naik.
Disinilah sebenarnya letak permasalahannya. Di saat konsentrasi tertuju pada penghitungan efek inflasi. Bahaya lain sebenarnya tengah mengintai. Pertamina perlu berhati-hati terhadap “migrasi” konsumen dari elpiji 12 kg ke 3 kg. Harga elpiji tabung 3 kg lebih murah karena di subsidi oleh Negara. Terbukti dengan langkanya elpiji 3 kg di pasaran saat ini.
Perpindahan konsumen dari tabung elpiji 12 kg akan membawa  banyak dampak. Pertama, peluang terjadinya kecurangan dalam penyaluran juga semakin besar. Banyak modus kecurangan distribusi tabung elpiji. Seperti mengurangi takaran, suntik tabung, memindahkan isi tabung dari elpiji 3 kg ke 12 kg, penimbunan tabung serta beragam praktek lain. Tindakan-tindakan curang ini muncul sebagai respon dari kepanikan konsumen dan ulah pragmatis distributor “nakal” untuk mencari keuntungan pribadi.
Migrasi konsumen juga akan memunculkan dampak pada ketidak tepatan subsidi. Subsidi elpiji sejatinya diperuntukan kepada masyarakat menengah ke bawah. Akan tetapi, dengan naiknya harga elpiji, maka masyarakat akan beralih ke elpiji 3 kg yang disubsidi oleh pemerintah. Akibatnya, di pasar akan terjadi over demand akan elpiji 3 kg. Banyak masyarakat akan berfikir pragmatis untuk mendapat elpiji dengan harga murah. Akhirnya, subsidi tidak tepat sasaran lagi. Karena tidak ada mekanisme kontrol yang tegas untuk membatasi pembelian elpiji tabung 3 kg.
Dampak selanjutnya dari migrasi konsumen ke tabung elpiji 3 kg adalah membengkaknya anggaran subsidi pemerintah. Hal ini tidak baik untuk fiskal. Anggaran subsidi elpiji tahun 2013 mencapai 40 Triliun, bahkan diperkirakan akan mencapai 60 Triliun pada 2014. Apabila terjadi migrasi konsumen ke tabung elpiji yang disubsidi maka dipastikan beban APBN akan bertambah berat.
Hal inilah yang perlu diantisipasi secara tepat. Pertamina dianggap telah mengambil langkah responsif untuk mengatasi hal ini. Namun, suka tidak suka perlu ada upaya penyadaran kepada konsumen bahwa elpiji 3 kg adalah untuk lapisan menengah ke bawah. Sudah saat nya masyarakat berfikir bahwa tidak semua yang di konsumsi harus murah dan disubsidi. Ada golongan-golongan tertentu yang lebih memerlukan subsidi. Diperlukan upaya cerdas untuk membangkitkan kesadaran bersama akan hal ini. Perlu ada upaya tegas juga dari Pertamina untuk memastikan harga jual tabung elpiji di distributor tidak melebihi harga jual yang telah ditetapkan Pertamina.
Selain itu, memang harus ada batas tegas atau regulasi tentang pembelian tabung elpiji 12 kg dan elpiji 3 kg. batas tegas ini dimaksudkan agar tidak terjadi migrasi besar-besaran. Selama ini, orang bebas membeli elpiji 3 kg. Hal ini tidak begitu terasa ketika kondisi normal. Konsumen lapisan menengah ke atas masih memilih tabung 12 kg dengan alasan efisiensi. Tapi, kondisi akan berubah saat ini. Margin harga yang cukup jauh akan membuat masyarakat secara rasional beralih ke tabung gas elpiji 3 kg.
Presiden SBY dirasakan tepat dalam mengambil sikap. Dengan meminta Pertamina untuk tidak menaikan harga elpiji terlalu tinggi. Efeknya cukup terasa. Awalnya, pertamina merencanakan akan menaikan harga sebesar Rp. 3.500/kg. Namun dalam realisasinya kenaikan hanya terjadi sebesar Rp. 1.000 /kg, sehingga kenaikan dan margin harga tidak terlampau signifikan  dari rencana awal.
Antisipasi melambungnya harga gas elpiji adalah sebuah keharusan. Namun, jangan melupakan dampak kemungkinan migrasi elpiji ke tabung 3 kg. Pengawasan ketat dalam penyaluran perlu untuk mendapat dukungan bersama. Seraya menggugah kesadaran masyarakat agar tidak latah ikut membeli elpiji bersubsidi. Biarkan elpiji bersubsidi dimanfaatkan oleh golongan menengah ke bawah. Kenaikan harga sebesar Rp.12.000 mungkin masih dapat dipahami masyarakat mengingat kondisi Pertamina apabila terus merugi. Hendaklah semua elemen tidak berfikiran pragmatis dengan mengambil keuntungan sesaat yang justru merugikan Negara dan masyarakat secara luas. Seraya tetap mengawasi agar harga jual di pasaran tidak melebihi harga jual yang telah ditetapkan.
Avi Budi Setiawan (Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Unnes)