Monday, April 21, 2014

INDONESIA DI TENGAH EUFORIA MEA

Tahun depan Indonesia akan memasuki era interkoneksi ekonomi antar Negara se Asean, atau yang akrab disapa Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Inilah yang akan menjadi babak baru dalam hubungan international antara Indonesia dan Negara-negara Asia Tenggara. Semangat MEA yang berfilosofi pada integrasi  regional dalam bidang ekonomi diharapkan dapat menjadi stimulus baru dalam percepatan pembangunan ekonomi kawasan yang lebih merata.
Asia tenggara dianggap sebagai poros ekonomi baru yang terus berkembang. Dengan populasi jumlah penduduk mencapai 612 juta jiwa atau 8,7% populasi dunia, plus volume ekonomi yang mencapai USD 2,2 trilyun. Asian tenggara adalah macan baru ekonomi asia. Letak yang strategis diantara jalur pelayaran dan penerbangan paling sibuk di dunia semakin menjadikannya sebagai kawasan yang “seksi” untuk dikembangkan.
Kondisi ini kemudian ditangkap oleh Negara-negara asia tenggara yang tergabung dalam Asean, untuk membentuk suatu komunitas ekonomi yang terintegrasi namun tanpa meniadakan kedaulatan filosofis dalam wadah MEA, atau Asean Economic Community (AEC). Di tengah kelesuan Amerika Utara dan Uni Eropa, ketimpangan di Asia Selatan serta pelambatan di Timur Jauh, Asia Tenggara muncul dengan harapan sebagai kutub baru ekonomi asia. Terdapat Negara-negara yang sangat sejahtera sepeti Singapura dan Brunei Darussalam. Ada pula kumpulan Negara yang melesat cepat macam Malaysia, Thailand, Vietnam. Meskipun tak menampik adanya beberapa Negara yang masih tertinggal seperti kamboja, Laos, Myamar dan Timor Leste 
Bagaimana dengan Indonesia? Negara terbesar di Asia Tenggara, dengan volume ekonomi 38,8% dari total volume perekonomian Asean. Indonesia adalah satu-satunya Negara Asean di forum G 20, atau 20 negara yang memiliki volume  ekonomi terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk mencapai 236,7 juta jiwa, Indonesia adalah  leader sekaligus pasar yang paling besar. Posisi ini tentu saja sangat menguntungkan dari segi geopolitik, ekonomi, demografi dan beragam aspek lain.
MEA sendiri dikonsepkan sebagai sebuah kawasan yang terintegrasi secara ekonomi. Sehingga mobilitas barang dan jasa serta beragam aktivitas ekonomi akan semakin mudah dan tanpa batas. MEA lebih dari sekedar zona perdagangan bebas. MEA diharapkan akan menciptakan keselarasan dalam aktivitas perekonomian yang lebih komprehensif dan integral dalam balutan semangat persaudaraan Asean.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, siapkah Indonesia menghadapi MEA?. Data BPS menunjukan bahwa tahun 2012 Indonesia justru mengalami defisit neraca perdagangan dengan Negara-negara Asia Tenggara lain. Indonesia mengalami defisit USD 2,65 Milyar dengan Malaysia; USD 8,9 Milyar dengan Singapura; USD 4,8 milyar dengan Thailand dan USD 321 juta dengan Vietnam. Memang benar apabila esensi dari perdagangan internasional bukanlah pada surplus dan deficit neraca perdagangan tapi lebih kepada keterpenuhan kebutuhan domestik. Namun,akan menjadi kurang sehat bila produsen domestik tidak berdaya saing di negeri sendiri di tengah kompetisi global.
Konstelasi perekonomian di kawasan semakin mengisyaratkan bahwa setelah ACFTA (Asean China Free Trade Area) diterapkan pada 2010, Indonesia cenderung berperan sebagai pasar produk Negara lain saja. Hal ini dibuktikan dengan performa neraca perdagangan kita dengan Negara Asean lain beberapa tahun belakangan yang menunjukan tren defisit.
Terlalu prematur untuk pesimis, terlambat pula untuk mempertanyakan  kesiapan Indonesia menghadapi MEA yang akan dimulai tahun depan. Mungkin, pertanyaan sederhana yang selayaknya dimunculkan terlebih dulu adalah, “Tahukah rakyat kita dengan MEA? Dan apakah mereka mengetahui akan dilaksanakan tahun depan?”.
Gaung MEA saat ini kurang begitu didengar oleh masyarakat khususnya golongan awam. Minimnya informasi yang dapat diakses, tingkat urgensi terhadap realitas sosial, pragmatisme masyarakat itu sendiri hingga rendahnya sosialisasi dianggap menjadi alasan. Disinilah sebetulnya letak permasalahan besar yang utama. Disaat energi semua pihak terkuras pada debat mengenai kesiapan menghadapi MEA. Apakah masyarakat Indonesia sebenarnya sudah tahu bahwa kita akan menghadapinya tahun depan?.
Beberapa survey dan kajian menunjukan bahwa hanya masyarakat golongan tertentu saja yang tahu dan paham akan MEA. Masyarakat awam yang umumnya mayoritas justru belum mengetahui. Jangankan untuk tahu akan dilaksanakan tahun depan, untuk sekedar mengetahui apa itu MEA tidak semua orang akan mengerti. Hal inilah yang justru sangat penting. Bagaimana mungkin akan siap apabila mengetahui saja tidak.
Saatnya Akselerasi Informasi
Diperlukan sosialisasi dan edukasi yang massif untuk menyampaikan pesan MEA kepada masyarakat luas. Karena masyarakat lah nantinya yang menjadi pemain sebenarnya. Jangan sampai kejadian yang sama terulang. Masyarakat banyak yang belum mengetahui ACFTA dan tiba-tiba Indonesia sudah mengalami defisit neraca perdagangan dengan Negara-negara Asia Tenggara. Akan sangat disayangkan apabila saat ini MEA hanya menjadi bahan seminar di kampus-kampus, diskusi dan rapat di institusi Negara, serta agenda meeting perusahaan-perusahaan besar atau tema konferensi tingkat tinggi kenegaraan.
MEA harus membumi disosialisasikan kepada masyarakat luas. Jangan sampai masyarakat suatu saat terkejut dengan eksodus tenaga kerja asing ke Indonesiasebagai tanda telah dimulai. Adalah sebuah kesalahan fatal jika membiarkan masyarakat pada ketidak pahaman dalam menyikapi MEA karena ketidak tahuan informasi. Selain itu, semangat MEA harus dipandang sebagai semangat pemerataan kesejahteraan dan untuk kemajuan bersama Negara Asean, bukan semangat menguasai Negara lain.
Dampak dari ketidak tahuan tentu saja adalah ketidak siapan. Di saat Negara-negara lain tengah bersiap menghadapi MEA, Indonesia harus mempercepat kesiapan di tengah upaya sosialisasi yang massif. Oleh karena itu, gaung MEA harus didengungkan lebih keras sembari mempersiapkan daya saing sektor-sektor ekonomi agar dapat berkompetisi di pasar Asia Tenggara. Sembari memastikan bahwa semangat MEA adalah untuk pemerataan pembangunan di Asia Tenggara.
Avi Budi Setiawan: Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Unnes; Peneliti K2EB

0 comments:

Post a Comment