Monday, April 21, 2014

DILEMA PANGAN NASIONAL

Penyediaan  pangan menjadi salah satu agenda nasional yang masih membutuhkan jawaban. Hal ini terjadi mengingat pemenuhan pangan mandiri masih jauh di bawah harapan. Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan nasional. Adapun produksi bahan pangan dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan pangan yang semakin tinggi.
Data Kementerian Perdagangan menunjukan, sepanjang 2013 impor komoditas pangan Indonesia mencapai USD 3,8 Milyar. Bahkan untuk beras, jagung, kedelai dan gula Indonesia belum dapat berswasembada. Tercatat selama tahun 2013 indonesia telah mengimpor 470 ribu ton beras, 1,7 juta ton kedelai dan 2,7 juta ton gula rafinasi.
Tingginya kebutuhan pangan tidak dapat diimbangi dengan produksi dalam negeri. Petani lokal compang-camping untuk mencukupi pangan rakyat Indonesia. Data BPS menyebutkan, selama tahun 2013 produksi beras di kisaran 39 juta ton; kedelai 800 ribu ton dan gula 2,5 juta ton. Sedangkan konsumsi domestik untuk beras mencapai 34 juta ton; kedelai 2,4 juta ton, dan gula baik konsumsi maupun rafinasi mencapai 5,2 juta ton. Sebenarnya terjadi suplus pada komoditas beras, namun surplus ini tidak cukup untuk menjaga cadangan pangan hingga level aman.
Ketidak mampuan domestik dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional disebabkan karena beragam permasalahan kompleks. Namun, salah satu penyebab utamanya adalah menurunnya luas lahan pertanian, khususnya di kawasan lumbung pangan. Di Pulau Jawa misalnya, laju alih fungsi lahan pertanian mencapai 200.000 Ha per tahun. Khudori (www.berdikarionline: 2013). Bagaimana mungkin produksi pertanian dapat ditingkatkan apabila faktor produksi yang paling vital justru mengalami penurunan kuantitas.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi membawa dampak pada besarnya konsumsi akan bahan pangan. Namun, negeri ini berhadapan dengan kodisi yang sangat dilematis. Tingginya aktivitas ekonomi membutuhkan ketersediaan lahan yang besar sebagai sarana pendukung fisik. Sedangkan cara yang paling mudah dan murah untuk memenuhinya adalah dengan mengalih fungsi lahan pertanian. Penggunaan lahan diperluas sebagai respon dari berkembangnya aktivitas ekonomi modern.
Akhirnya lahan pertanian yang menjadi korban. Harga yang murah dan lokasi yang strategis dianggap menjadi pertimbangan khusus. Selain itu, tidak adanya perlindungan terhadap lahan agar tidak dialih fungsikan turut menjadi alasan lain. Disaat yang sama, lahan  pertanian sediri tengah berhadapan dengan kondisi diminishing return akibat berkurangnya kesuburan tanah karena over exploitated. Sehingga bagi sebagian  petani pemilik lahan, lebih menguntungkan apabila lahannya dijual untuk di alih fungsi kemudian berfikir untuk beralih profesi karena bertani tidak menjanjikan lagi.
Kondisi ini yang berbahaya. Pertambahan  jumlah penduduk ternyata diikuti dengan penurunan  luas lahan pertanian. Aktivitas manusia yang bertambah banyak membutuhkan penambahan cakupan ruang sehingga memunculkan kelaziman alihfungsi lahan dan jamak terjadi di Jawa. Padahal Pulau Jawa dikenal sebagai lumbung pangan nasional dengan lahan yang subur.
Sayangnya, Jawa telah menjadi magnet pertumbuhan ekonomi Indonesia dimana motor penggeraknya justru bukan sektor pertanian. Jawa muncul sebagai kutub pertumbuhan yang mengundang semua orang untuk mengecap manisnya “gula” perekonomian. Namun, transformasi Jawa menjadikan sektor pertanian terpinggirkan, diganti dengan sektor-sektor modern seperti industri, perdagangan, hunian dan jasa. Lahan-lahan subur tadi tertutup oleh lautan beton dan aspal. Menjadi petani tak lagi menjanjikan. Sehingga tak ada lagi proteksi sosial dan regulatif kepada sawah-sawah hijau.
Saat inilah seharusnya menjadi titik balik. Perlu ada upaya penyadaran akan arti pentingnya perlindungan lahan pertanian demi kepentingan yang lebih besar, “kedaulatan pangan nasional”. Adalah sebuah ironi ketika Pemerintah pusat kesulitan mencari lahan tanam kedelai demi mewujudkan mimpi swasembada. Sedangkan di sisi lain, kawasan-kawasan industri baru muncul dengan mengorbankan lahan pertanian.
Perlindungan lahan pertanian dalam payung UU No 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan berkelanjutan selayaknya perlu dikawal hingga level daerah. Sehingga akan langsung terimplementasi dalam bentuk Perda. Disinilah letak pentingnya sinergi pusat dan daerah dalam kerangka kebijakan pertanian yang holistik. Selama ini, upaya perlindungan lahan pertanian dirasakan masih kurang. Hal ini terbukti dengan menurunnya luas lahan pertanian. Pemerintah daerah dalam era otonomi memegang peran sentral melalui instrumen kebijakan yang sinergis dengan satuan SKPD. Tentu saja tugas besar tersebut akan lintas sektoral antara pertanian, pertanahan, perencanaan, tata ruang, pekerjaan umum dan lain sebagainya.
Sudah saatnya untuk tidak lagi bergantung kepada Jawa sebagai lumbung pangan. Luas Pulau Jawa Tidak lebih dari 12% luas Indonesia. Namun Jawa telah memasok lebih dari 60% kebutuhan pangan nasional. Masih ada 88% belahan lain bumi pertiwi yang menanti untuk dilirik dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sangat sulit apabila harus “memaksa” jawa menambah lahan pertanian. “Gula” pertumbuhan ekonomi perlu disebar. Nusa tenggara, Papua, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan adalah lumbung-lumbung potensial yang menanti untuk disentuh dengan investasi, kerja keras dan komitmen.
Thomas Robert Malthus (1776-1824) pernah menyatakan dalam teorinya bahwa “jumlah penduduk akan bertambah menurut deret ukur, sedangkan bahan pangan akan bertambah menurut deret hitung”. Memang benar bahwa teori tersebut tidak terbukti secara presisi. Namun lebih daripada itu, esensi teori tersebut sebenarnya telah tersampaikan. Bahwa dunia tengah berhadapan dengan ancaman ketidak mampuan pemenuhan kebutuhan pangan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang bergerak lebih cepat.
Avi Budi Setiawan, SE., M.Si: Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan FE UNNES; peneliti K2EB

0 comments:

Post a Comment