Monday, April 21, 2014

MENYOAL KENAIKAN HARGA ELPIJI

Sepekan ini energi kita seolah habis untuk membahas beberapa isu penting nasional. Salah satu yang terhangat adalah langkah Pertamina untuk menaikan harga tabung gas elpiji (liquided Petroleum Gas). Hal ini “terpaksa” dilakukan untuk mengurangi beban kerugian dari unit usaha penjualan gas elpiji.
Seperti biasa, setiap kebijakan menaikan harga yang diambil Pertamina maka akan diikuti dengan gelombang protes dan kecaman publik. Beberapa kalangan mengangap langkah Pertamina menaikan harga elpiji adalah bentuk ketidak tepatan. Namun, untuk menaikan harga jual elpiji kemasan tabung 12 kg Pertamina tidak memerlukan persetujuan dari DPR. Karena elpiji 12 kg tidak memperoleh subsidi dari Negara. Ketua BPK Hadi Poernomo menyatakan bahwa untuk menaikan harga elpiji Pertamina harus mengacu pada setidaknya empat hal yakni harga Patokan elpiji, kemampuan daya beli konsumen, kemampuan distribusi, serta koordinasi saat menaikan harga. (Kompas, 6 januari 2014)
Sebagai koorporasi, Pertamina  tentu saja harus mempertahankan skala ekonomi. Tidak mungkin Pertamina menanggung kerugian terus menerus dengan menjual gas elpiji tanpa penyesuaian harga. Menurut Pertamina, upaya penyesuaian harga harus dilakukan karena naiknya harga elpiji di pasar internasional dan efek pelemahan nilai tukar rupiah. Pertamina tidak akan sanggup menahan beban kerugian yang mencapai 7,7 Triliun. Nulai tukar yang menembus Rp12.200 per dollar amerika juga cukup memukul impor elpiji Indonesia.
Saat ini kebutuhan elpiji dalam negeri mencapai 5,6 juta metric ton. Sedangkan produksi Pertamina hanya sekitar 560.000 metric ton. Hanung Budya selaku direktur pemasaran dan niaga Pertamina menyatakan komposisi produk elpiji impor dan domestik sampai November 2013 mencapai 59% impor, produksi domestik dari pihak swasta 30,7%, dan produksi dari eks kilang Pertamina sebesar 10,1%. (detik.com, 6 januari 2014)
Dampak kenaikan harga elpiji sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Efek pertama adalah langkanya tabung elpiji di pasaran. Harga elpiji kemasan tabung 12 kg naik tajam, dari awalnya di kisaran Rp. 75.000  hingga menyentuh Rp. 125.000/ tabung. Lebih daripada itu, masyarakat kini juga telah mulai beralih dari elpiji tabung 12 kg ke elpiji tabung 3 kg yang harganya disubsidi pemerintah. Migrasi inilah yang membuat elpiji tabung 3 kg kini semakin langka di pasaran. Dampaknya pada harga elpiji 3 kg yang ikut merambat naik.
Disinilah sebenarnya letak permasalahannya. Di saat konsentrasi tertuju pada penghitungan efek inflasi. Bahaya lain sebenarnya tengah mengintai. Pertamina perlu berhati-hati terhadap “migrasi” konsumen dari elpiji 12 kg ke 3 kg. Harga elpiji tabung 3 kg lebih murah karena di subsidi oleh Negara. Terbukti dengan langkanya elpiji 3 kg di pasaran saat ini.
Perpindahan konsumen dari tabung elpiji 12 kg akan membawa  banyak dampak. Pertama, peluang terjadinya kecurangan dalam penyaluran juga semakin besar. Banyak modus kecurangan distribusi tabung elpiji. Seperti mengurangi takaran, suntik tabung, memindahkan isi tabung dari elpiji 3 kg ke 12 kg, penimbunan tabung serta beragam praktek lain. Tindakan-tindakan curang ini muncul sebagai respon dari kepanikan konsumen dan ulah pragmatis distributor “nakal” untuk mencari keuntungan pribadi.
Migrasi konsumen juga akan memunculkan dampak pada ketidak tepatan subsidi. Subsidi elpiji sejatinya diperuntukan kepada masyarakat menengah ke bawah. Akan tetapi, dengan naiknya harga elpiji, maka masyarakat akan beralih ke elpiji 3 kg yang disubsidi oleh pemerintah. Akibatnya, di pasar akan terjadi over demand akan elpiji 3 kg. Banyak masyarakat akan berfikir pragmatis untuk mendapat elpiji dengan harga murah. Akhirnya, subsidi tidak tepat sasaran lagi. Karena tidak ada mekanisme kontrol yang tegas untuk membatasi pembelian elpiji tabung 3 kg.
Dampak selanjutnya dari migrasi konsumen ke tabung elpiji 3 kg adalah membengkaknya anggaran subsidi pemerintah. Hal ini tidak baik untuk fiskal. Anggaran subsidi elpiji tahun 2013 mencapai 40 Triliun, bahkan diperkirakan akan mencapai 60 Triliun pada 2014. Apabila terjadi migrasi konsumen ke tabung elpiji yang disubsidi maka dipastikan beban APBN akan bertambah berat.
Hal inilah yang perlu diantisipasi secara tepat. Pertamina dianggap telah mengambil langkah responsif untuk mengatasi hal ini. Namun, suka tidak suka perlu ada upaya penyadaran kepada konsumen bahwa elpiji 3 kg adalah untuk lapisan menengah ke bawah. Sudah saat nya masyarakat berfikir bahwa tidak semua yang di konsumsi harus murah dan disubsidi. Ada golongan-golongan tertentu yang lebih memerlukan subsidi. Diperlukan upaya cerdas untuk membangkitkan kesadaran bersama akan hal ini. Perlu ada upaya tegas juga dari Pertamina untuk memastikan harga jual tabung elpiji di distributor tidak melebihi harga jual yang telah ditetapkan Pertamina.
Selain itu, memang harus ada batas tegas atau regulasi tentang pembelian tabung elpiji 12 kg dan elpiji 3 kg. batas tegas ini dimaksudkan agar tidak terjadi migrasi besar-besaran. Selama ini, orang bebas membeli elpiji 3 kg. Hal ini tidak begitu terasa ketika kondisi normal. Konsumen lapisan menengah ke atas masih memilih tabung 12 kg dengan alasan efisiensi. Tapi, kondisi akan berubah saat ini. Margin harga yang cukup jauh akan membuat masyarakat secara rasional beralih ke tabung gas elpiji 3 kg.
Presiden SBY dirasakan tepat dalam mengambil sikap. Dengan meminta Pertamina untuk tidak menaikan harga elpiji terlalu tinggi. Efeknya cukup terasa. Awalnya, pertamina merencanakan akan menaikan harga sebesar Rp. 3.500/kg. Namun dalam realisasinya kenaikan hanya terjadi sebesar Rp. 1.000 /kg, sehingga kenaikan dan margin harga tidak terlampau signifikan  dari rencana awal.
Antisipasi melambungnya harga gas elpiji adalah sebuah keharusan. Namun, jangan melupakan dampak kemungkinan migrasi elpiji ke tabung 3 kg. Pengawasan ketat dalam penyaluran perlu untuk mendapat dukungan bersama. Seraya menggugah kesadaran masyarakat agar tidak latah ikut membeli elpiji bersubsidi. Biarkan elpiji bersubsidi dimanfaatkan oleh golongan menengah ke bawah. Kenaikan harga sebesar Rp.12.000 mungkin masih dapat dipahami masyarakat mengingat kondisi Pertamina apabila terus merugi. Hendaklah semua elemen tidak berfikiran pragmatis dengan mengambil keuntungan sesaat yang justru merugikan Negara dan masyarakat secara luas. Seraya tetap mengawasi agar harga jual di pasaran tidak melebihi harga jual yang telah ditetapkan.
Avi Budi Setiawan (Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Unnes)

0 comments:

Post a Comment