Monday, April 21, 2014

PESAN PENDIDIKAN DARI DIENG

Ketidak merataan pendidikan merupakan salah satu masalah klasik di negeri ini. Fasilitas pendidikan yang tidak merata berbanding lurus dengan kualitas yang dihasilkan. Sudah bukan rahasia lagi, apabila fasilitas pendidikan di kota besar jauh lebih lengkap dibandingkan di daerah dan memunculkan jurang pemisah. Jangankan membandingkan pendidikan di jawa dan di luar jawa yang timpang. Di pulau jawa sendiri juga terdapat ketimpangan yang cukup lebar antara kota dan desa.
Sejatinya, pendidikan yang layak adalah hak dari setiap warga Negara sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 30. Menyelenggarakan pendidikan yang baik untuk menghasilkan generasi yang cerdas juga menjadi cita-cita luhur para pendiri bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Namun, dalam perjalanannya terdapat banyak masalah dan tantangan yang dihadapi. Fasilitas pendidikan yang tidak merata, keterbatasan jumlah guru hingga rendahnya kesadaran berpendidikan di daerah merupakan potret kecil dari peliknya problem pendidikan di negeri ini, khususnya di jenjang dasar.
Pendidikan dasar adalah gerbang pertama dalam menempuh jenjang pendidikan formal. Salah satu proses pembentukan karakter siswa yang paling awal. Di tahap inilah salah satu masa paling krusial dalam proses mendidik siswa. Pada jenjang ini seharusnya siswa menikmati setiap proses pembelajaran yang diterima serta memperoleh pendidikan yang sebenar-benarnya. Di tahap inilah sebenarnya siswa dibekali dengan dasar-dasar pemahaman yang baik.
Dirasakan bahwa kualitas pendidikan saat ini seolah-olah diidentikan dengan angka-angka nilai raport siswa tanpa melihat proses belajar. Hal inilah yang menjadi keprihatinan bersama. Esensi pendidikan terjebak pada orientasi hasil akhir akademik. Jauh dari semangat pembelajaran yang berorientasi proses. Seorang siswa akan lebih diapresiasi ketika mendapatkan nilai sempurna dibandingkan siswa yang jujur belajar namun mendapatkan hasil kurang maksimal.
Nilai raport dan kumpulan piagam penghargaan dianggap menjadi salah satu tolak ukur prestasi siswa. Seorang siswa akan dikatakan pandai ketika memperoleh ranking atau nilai yang bagus di sekolah, rajin mengikuti lomba dan menghasilkan penghargaan untuk sekolahnya. Akhirnya motivasi untuk belajar adalah memperoleh nilai yang bagus. Siswa menjadi rentan berfikir pragmatis. Bagaimana caranya agar mendapatkan nilai-nilai yang tinggi.
Tak dapat disalahkan apabila para orang tua ingin menyekolahkan anaknya di tempat yang layak. Adalah menjadi tugas Negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas serta terjangkau. Namun, pendidikan yang diberikan hendaklah merata dan tidak meninggalkan nilai-nilai luhur pendidikan itu sendiri. Pesan pendidikan harus lah sampai ke siswa seraya benar-benar diresapi oleh guru.
Jauh dari tembok tinggi kemewahan pendidikan kota. Di desa terpencil dataran tinggi Dieng, esensi pendidikan diajarkan dengan penuh ketulusan di tengah keterbatasan. Topografi daerah yang terpencil dan terletak di gunung membawa beberapa dampak mulai dari terbatasnya akses, ketiadaan beberapa sarana penunjang khususnya di sekolah swasta serta mobilitas para siswa dan guru yang terbatas. Tapi, bentangan alam inilah yang mungkin membuat esensi pendidikan benar-benar sampai. Nilai-nilai religiusitas yang tinggi dibalut kearifan lokal membumi bersama semangat belajar siswa di tengah keterbatasan, dan terlindung di tengah gagahnya tembok alam.
Terdapat  beberapa sekolah yang masih menjunjung tinggi semangat pendidikan dasar yang berlandaskan pada ajaran Ki Hajar Dewantara di Dieng. Pendidikan diajarkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budi pekerti. Guru mengajar sembari memberikan tauladan dengan berladaskan pada filosofi ing ngarsa sung tuladha. Benar-benar yang dilakukan guru adalah hal yang baik dan akan ditiru oleh muridnya. Pendidikan yang diberikan di tengah nuansa kekeluargaan seperti ini justru membuahkan rasa menghormati. Sosok guru benar-benar memegang peran sebagai contoh dan panutan. Terlepas dari bagaimanapun kualitas guru disana, sebuah pelajaran sederhana dapat dipetik. Mengajarlah dengan sepenuh hati maka siswa akan mampu menerima hal yang baik.
Keterbatasan fasilitas memang menjadi kendala banyak sekolah di Dieng. Namun kadang fasilitas pembelajaran yang lengkap juga bukan menjadi jaminan terselenggaranya proses pembelajaran yang lebih baik. Lengkapnya fasilitas pembelajaran apabila tidak dipergunakan dengan optimal hanya akan menimbulkan ketidak efektifan. Sayangnya, hal inilah yang justru sering terjadi. 
Esensi dari mendidik adalah mengajar dengan penuh dedikasi, senantiasa memotivasi layaknya guru-guru yang mengajar sepenuh hati di tengah keterbatasan gaji yang diperoleh. Bagi sebagian besar guru disana, mendidik adalah sebuah bagian dari ibadah. Niat untuk menyampaikan ilmu yang berguna. Di sisi yang lain, para siswa telah memperoleh guru-guru terbaik hasil didikan alam yang memiliki mental baja dan totalitas dalam mengajar.
Mengajar adalah memberikan pemahaman, ilmu dan menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada siswa dalam proses pengajaran. Mengajar bukan menekan siswa dengan tuntutan-tuntutan akademik. Pendidikan diberikan bukan dengan memberikan target kepada siswa untuk mencapai rentang nilai akademik tertentu. Seorang guru yang hebat sejatinya adalah yang mampu mengajar dengan memotivasi seraya memastikan setiap anak didiknya mampu menyerap ilmu yang diberikan. Di sinilah letak esensi Ing madya mangun karsa. Siswa yang dididik dengan baik tidak akan pragmatis dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai baik. Namun bersaing untuk terlebih dahulu mencium tangan guru ketika tiba di sekolah, bersaing untuk membawakan tas mereka dan berusaha untuk menjadi yang pertama dipuji ketika berhasil menyelesaikan pertanyaan guru.
Nuansa pendidikan akademis juga tidak harus diperoleh dari sekolah-sekolah mewah yang menjanjikan menu jajanan kantin lengkap. Sekolah-sekolah favorit juga tidak harus diisi oleh murid yang setiap harinya diantar oleh mobil-mobil mewah. Jauh di Dieng sana, sebuah sekolah yang baik berdiri dengan anak-anak yang berjalan menyusuri pematang ladang dan menuruni lembah untuk berangkat. Sekolah yang para siswanya membeli jajan di kantin kejujuran. Sekolah seperti inilah yang menyebarkan pesan pendidikan sebenarnya.
Sepantasnya, semangat inilah yang harus dipertahankan. Semangat untuk terus menuntut ilmu demi masa depan lebih baik. Semangat para guru untuk mencetak calon pemimpin bangsa yang religius, amanah dan berbakti tanpa pamrih. Seraya senantiasa berharap akan ada tangan-tangan yang menyentuh mereka dengan kepedulian. Tidak untuk membuat sekolah-sekolah terpencil tadi setara dengan sekolah yang maju di kota. Tapi untuk memberikan pesan bahwa masih ada yang peduli dengan mereka sesuai makna tut wuri handayani.
Oleh: Avi Budi Setiawan Pengajar Jurusan Ekonomi pembangunan FE Unnes; Peneliti K2EB    

0 comments:

Post a Comment