Monday, April 21, 2014

Peta Minyak Nasional: Dulu, Kini dan Nanti

Dahulu Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya minyak. Pada periode tahun 70an, tak kurang dari 1,6 juta barrel minyak diambil dari dalam lambung bumi pertiwi setiap harinya. Saat itu Indonesia menjelma sebagai salah satu Negara penghasil minyak utama dunia, dan pada tahun 1961 masuk ke dalam kartel organisasi Negara pengekspor minyak dunia (OPEC). Prestasi yang sama terulang kembali pada pertengahan dekade 90an, produksi minyak kembali menyentuh 1,6 juta barrel/ hari.
Namun, skenario cerita berubah. Dulu negeri kaya ini dikenal sebagai ladang minyak. Sekarang Indonesia berubah menjadi Negara net pengimpor minyak. Anjloknya produksi minyak dalam negeri dan bertambahnya konsumsi domestik membawa konsekuensi logis yang berat. Indonesia tidak lagi bergantung pada minyak sebagai penyumbang devisa Negara, bahkan kini harus terbebani dengan pengeluaran impor minyak untuk menutup kebutuhan domestik yang membumbung.
Secara kuantitas produksi minyak mentah indonesia terus menurun hingga hanya sekitar 835 ribu barrel/ hari. Pada saat yang sama kebutuhan akan BBM secara ekuivalen telah mencapai 1,5 juta barrel/ hari. Semakin lebarnya jurang antara produksi dan konsumsi ini menasbihkan indonesia sebagai negara pengimpor minyak. Bahkan diperkirakan cadangan minyak nasional hanya sekitar 3,6 milyar barrel saja, jauh dibandingkan dengan cadangan minyak Venezuela, Iran, Arab Saudi dan negara penghasil minyak lain. Jika tidak ditemukan lapangan minyak baru dan tidak ada eksplorasi maka diperkirakan minyak kita akan habis dalam 12 tahun mendatang dengan asumsi lifting 800-900 ribu barrel minyak per hari.
Penurunan lifting minyak dalam negeri memang sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Tak ada lapangan minyak baru yang dapat dieksploitasi. Setelah itu, belum ada lapangan baru yang ditemukan. Hal inilah yang membawa dampak menurunnya lifting minyak. Kita sangat bergantung pada produksi lapangan-lapangan tua yang sudah tidak optimal lagi dalam mengeduk minyak.
Badan Pengelola Hulu Minyak dan Gas Nasional (BP Migas) yang kini berganti nama menjadi SKK Migas sebagai stakeholder dalam peta hulu minyak nasional mempunyai PR besar untuk segera menemukan lapangan minyak baru. Tetapi banyak kendala yang dihadapi dalam hal ini. Birokrasi yang panjang untuk memulai proses eksplorasi hingga mencapai 25 jenis perizinan, anggaran negara untuk eksplorasi yang terbatas mengingat berbagai kendala teknis, hingga ketidakmampuan dalam negeri untuk melakukan eksplorasi merupakan tantangan-tantangan berat yang harus dihadapi.
Kendala di sektor produksi tidak hanya terjadi pada lifting saja. Pada tahap refining atau penyulingan minyak ternyata terdapat banyak hal yang menjadi permasalahan pelik. Kapasitas kilang minyak yang beroperasi di indonesia baik milik negara dan asing mencapai 1,1 juta barrel/ hari. Kilang-kilang ini mengolah minyak mentah produksi dalam negeri dan minyak mentah yang diimpor. Namun, tidak semua minyak dalam negeri dapat diolah di kilang-kilang dalam negeri. Terdapat berbagai kendala, antara lain spesifikasi kilang minyak yang terpasang ternyata tidak sesuai dengan jenis minyak yang dihasilkan dari lapangan-lapangan minyak di dalam negeri. Hal inilah yang memaksa negara “terpaksa mengekspor” minyak mentah yang dihasilkan dan mengimpor minyak mentah dari negara lain khususnya negara-negara arab dan afrika untuk kemudian diolah di dalam negeri. Hal ini dikenal sebagai processing deal.
Keterbatasan jumlah kilang minyak dalam negeri tentu saja memberikan andil begitu besarnya ketergantungan kita akan BBM impor. Untuk membangun kilang minyak di dalam negeri bukanlah hal yang mudah. Praktis kilang minyak terakhir dibangun sekitar tahun 1998. Untuk membangun kilang minyak bukan hanya mempertimbangkan aspek modal dan investasi saja. Aspek keberlanjutan pasokan bahan baku minyak juga harus menjadi perhatian.
Selama periode 2013, konsumsi BBM Indonesia mencapai 57 juta kiloliter namun kuota BBM bersubsidi dalam APBN ditargetkan hanya sebesar 46 juta kiloliter. Tingginya konsumsi BBM dalam negeri antara lain disebabkan karena pertumbuhan kendaraan bermotor dan mobil pribadi, aktivitas industri serta pembangkitan listrik yang memerlukan BBM sebagai salah satu pos dalam faktor produksi dan beberapa faktor lain. Namun, penggunaan BBM untuk konsumsi kendaraan bermotor pribadi memberikan porsi tertinggi dari total konsumsi BBM nasional.
Tingginya konsumsi BBM oleh kendaraan pribadi bisa menjadi cermin belum optimalnya peran moda transportasi umum dan masih bergantungnya kita pada bahan bakar konvensional berbasis minyak. Konsumsi BBM yang tinggi juga dapat menjadi indikator semakin tingginya aktivitas ekonomi di Indonesia. Terlepas dari itu semua, intinya kebutuhan akan BBM dalam negeri sudah sangatlah besar dan kita belum menemukan penggantinya atau setidaknya belum mengendalikan laju pertumbuhan konsumsinya yang besar.
Maka dari itu, sudah saatnya negeri ini berkaca. Masih pantaskah kita berbangga diri sebagai negeri kaya minyak? Komoditas yang membuat sejumlah Negara berperang untuk memperebutkannya. Komoditas yang membuat energi kita habis untuk memperdebatkan kenaikan harga nya tanpa meyadari bagaimana sebenarnya kondisinya. Semangat subsidi yang selama ini didengungkan dengan berlandaskan pada pasal 33 UUD 1945 mungkin harus dimaknai ulang dan dikonsistenkan dalam penerapannya.
Kekayaan alam yang terkandung di bumi pertiwi memang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun bukan berarti dibagikan kepada generasi ini saja. Peninggalan ini harus kita turunkan kepada anak cucu kita, seperti halnya pendahulu kita mewariskannya kepada kita. Besar harapan kita akan adanya perbaikan dalam peta perminyakan nasional. Untuk menjamin bahwa negeri ini akan mandiri energi, seraya memastikan setiap tetes minyak yang dihasilkan adalah benar-benar untuk kemakmuran rakyat. Maka akan menjadi menarik perkataan dari mantan presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad yang menyatakan akan berjuang untuk memastikan setiap pendapatan dari minyak bumi Iran akan jatuh ke meja makan rakyat Iran.   
Avi Budi Setiawan. Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan FE UNNES, Peneliti K2EB

0 comments:

Post a Comment