Monday, April 21, 2014

ENERGI NABATI: PELUANG ATAU ANCAMAN BAGI SEKTOR PERTANIAN

Dewasa ini, kebutuhan akan energi cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Aktivitas transportasi semakin berkembang yang ditandai dengan melambungnya jumlah kendaraan bermotor dan tingginya mobilitas manusia. Sektor perdagangan dan industri juga mengalami peningkatan pesat di era modern sekarang ini. Kesemuanya itu membutuhkan energi sebagai penggerak aktivitas. Awalnya, sumber energi konvensional menjadi penopang utama pembangkit energi.  Minyak bumi, gas alam, dan batu bara menjadi primadona karena persediannya melimpah dan pertimbangan harga yang murah. Negara-negara yang mendapatkan “warisan” sumber energi ini tumbuh menjadi negara kaya dan sejahtera. tengok saja negara-negara Jazirah Arab, Rusia, negara pecahan Uni Sovyet,  Brunei Darussalam dan beberapa negara lain yang mampu lepas dari jerat kemiskinan developing country karena topangan ekspor energi sebagai penggerak perekonomian.
Namun, sejatinya manusia mulai terlena. Sumber energi murah dan melimpah tadi sebenarnya adalah energi yang tak terbarukan (non renewable resources). Butuh berapa juta tahun untuk kembali menghasilkan minyak bumi, gas alam, dan batu bara dari dalam perut bumi. Di sisi lain, kebutuhan akan suplai energi selalu meningkat setiap harinya. Energi yang dihasilkan juga bukanlah energi yang bersih dan ramah lingkungan. Penggunaan sumber energi yang tak terbarukan juga mendorong polusi besar-besaran karena sisa pembakaran akan menghasilkan emisi karbon dioksida yang berbahaya bagi lingkungan. Data dari United Nation Statistic Division, MDGS Indicator menyebutkan bahwa emisi gas karbon dioksida di seluruh saat ini telah mencapai 29.319.295 metric ton, hal inilah yang dianggap menjadi salah satu kontributor terhadap terjadinya global warming.
Gagasan pengalihan ke sumber energi yang bersih dan ramah lingkungan telah dimulai sejak beberapa dekade yang lalu. Bahkan beberapa negara telah memulai dan menjadi pionir. Sebut saja Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat yang telah mulai menggunakan energi nuklir sebagai pembangkit listrik. Belanda yang mulai menggunakan energi angin dan lain sebagainya. Akan tetapi, penggunaan energi alternatif tadi meskipun relatif lebih bersih, efisien dan terbarukan bukannya berjalan tanpa kendala. Energi nuklir yang secara teknis memiliki kemampuan pembangkit yang paling besar ternyata tidak aman bagi lingkungan dan manusia terkait efek radioaktif yang ditimbulkan. Banyak bukti yang menunjukan betapa berbahayanya radiasi energi nuklir apabila mengalami kebocoran dalam penggunaan seperti kasus pebangkit listrik tenaga nuklir Chernobil di Rusia dan Fukushima di Jepang yang mengalami kebocoran reaktor nuklir hingga menjadi bencana umat manusia.
Pemanfaatan energi alternatif seperti air, angin, surya, geothermal, dan beberapa sumber energi yang lain juga telah menjadi inovasi yang telah banyak diaplikasikan. Namun, hal itu dianggap belum dapat menjawab tantangan besar untuk  mengatasi permasalahan keberlangsungan energi dunia. Sumber-sumber energi tadi memang lebih terbarukan. Namun, belum mampu menggantikan sumber energi konvensional karena keterbatasan kapasitas produksi, inefisiensi, skala ekonomi, hingga kurangnya dukungan dari stakeholders dan semua pihak.
Kemudian muncul gagasan untuk mengembangkan energi nabati. Salah satu dasar pertimbangannya adalah mulai terbatasnya bahan bakar minyak untuk menopang kehidupan manusia terlebih untuk transportasi. Harga minyak dunia cenderung mengalami tren kenaikan bahkan pernah menyentuh harga $135/ barrel. Harga bensin dan bahan bakar pun melambung tinggi hingga menyentuh harga Rp.6000, bahkan di eropa menyentuh harga 23.000/ liter sebagai dampak dari reaksi antara permintaan dan keterbatasan pasokan karena bentuk dari ketidak seimbangan permintaan dan penawaran. (http://www.mytravelcost.com/petrol-prices/).
Guru Besar FT UGM, Prof. Ir. Suryo Purwono, M.ASc., Ph.D memperkirakan pasokan minyak bumi Indonesia diprediksikan akan habis pada tahun 2020 apabila tidak dilakukan tindakan. Sedangkan gas alam dan batubara masih 40 sampai 60 tahun lagi. (http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1565). Kondisi ini mendorong berkembangnya gagasan untuk mengembangkan energi nabati yang mampu mensubtitusi energi tak terbarukan.
Masyarakat mulai melihat energi terbarukan sebagai subtitusi energi tak terbarukan. Pilihan tentu saja jatuh kepada produk-produk nabati yang mampu menghasilkan energi alternatif pengganti BBM. Lalu dikembangkanlah tanaman jarak, kelapa sawit, kelapa, dan lain sebagainya. Budidaya tanaman-tanaman tersebut digalakkan sedemikian rupa. Tujuannya adalah membuat subtitusi bensin, solar, minyak tanah dan akan digantikan dengan BBM  dari bahan baku nabati yang disebut biofuel.
Indonesia pun tidak tinggal diam dengan fenomena kelangkaan energi dan inovasi energi nabati. Perkebunan-perkebunan baru banyak dibuka guna mensuplai pasokan bahan baku untuk sumber energi nabati. Sebagai contoh, Pemerintah dan swasta telah membuka perkebunan biji jarak di Jawa Tengah dan luar Jawa. Masih kurang dengan tanaman-tanaman yang menjadi bahan baku biofuel yang dianggap sulit untuk dikembangkan dalam skala besar. Kemudian muncul serangkaian ide dan inovasi untuk membuat sumber energi dari tanaman yang lebih familiar, tersedia dalam jumlah yang banyak, dan memiliki nilai jual murah. Akhirnya produk pertanian yang biasa dibudidayakan dari petani mulai dilirik untuk dijadikan sumber bahan bakar nabati. Jagung, tebu dan kacang-kacangan mulai dikembangkan sebagai bahan baku energi alternatif berkonsep nabati.
Hal ini merupakan salah satu inovasi yang konstruktif ditengah kelangkaan dan ancaman akan keberlangsungan energi fosil seperti BBM. Lambat laun peran BBM akan digantikan oleh energi yang terbarukan. Bahkan, implementasinya sekarang pun banyak SPBU telah memasarkan bahan bakar alternatif yang berbasis pada energi nabati. Spesifikasi dan penggunaannya pun dirancang sama dengan BBM konvensional, sehingga konsumen tidak perlu merubah spesifikasi kendaraan secara signifikan untuk menggunakan biofuel pada kendaraan mereka. Ini adalah bentuk langkah maju yang sangat perlu diapresiasi dan terus dikembangkan.
Secara teknis biofuel juga dianggap lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan emisi karbon dioksida yang berlebihan. Sehingga polusi yang ditimbulkan juga tidak begitu besar. aspek keramahan lingkungan inilah yang menjadi daya tarik pengembangan biofuel selain karena pertimbangan sebagai sumber energi yang terbarukan.
Penggunaan sumber pangan seperti jagung, gandum, ketela, kedelai, kacang-kacangan, dan tebu untuk bakan baku biofuel banyak dianggap memberikan dampak positif bagi keberlangsungan proyek energi terbarukan. Selain bahan baku tersebut tersedia dalam kapasitas yang besar dan telah dibudidayakan secara massal. Keuntungan lainnya adalah terdongkraknya harga komoditas-komoditas tersebut karena efek permintaan dan penawaran. Sehingga secara langsung petani pembudidaya akan diuntungkan dengan harga jual yang semakin baik.
Pertimbangan dari penggunaan komoditas pertanian sebagai sumber energi alternatif ini merupakan bentuk dari diversifikasi bahan baku energi alternatif. Mengingat akan cukup sulit mengembangkan tanaman jarak dalam skala besar, akan cukup sulit juga mengkonversi kelapa sawit dan kelapa dari fungsi aslinya sebagai bahan baku industri. Sehingga tanaman pertanian lah yang dilirik, karena memiliki kapasitas produksi yang besar, pembudidayaannya cenderung lebih familiar, jaminan pasar yang jelas, serta apabila dicanangkan sebuah gerakan besar untuk menanam komoditas-komoditas tadi tentu saja akan lebih  mudah dalam penggalangan.
Bahaya Bagi Sektor Pangan
Akan tetapi, apakah penggunaan sumber pangan sebagai bahan baku energi alternatif akan benar-benar membuat keadaan menjadi lebih baik? Bisa dibayangkan, berapa ribu ton jagung, kedelai, tebu dan kacang-kacangan yang harus diproduksi untuk menggantikan 835.000 ribu barrel minyak yang diproduksi kilang minyak Indonesia dalam satu harinya. Atau jika kita tidak ingin berfikir terlalu jauh dengan langsung mengganti minyak bumi dengan bahan pangan. Jika di subtitusi sedikit saja BBM konvensional yang kita gunakan dengan bahan pangan sebagai sumber energi nabati, berapa juta ton cadangan pangan yang akan dihabiskan untuk membuat bahan bakar?
Apakah pemikiran ini bijak atau tidak. Tetapi, dengan mengganti BBM konvensional menjadi biofuel bukankah akan mengakibatkan keseimbangan harga pangan terganggu? Masyarakat selama ini dihadapkan dengan gejolak harga bahan pangan yang semakin naik melebihi daya jangkau mereka terlebih masyarakat berpendapatan rendah. Baiklah, jika mungkin pendapat ini dibantah dengan  argumen yang menyatakan kondisi taraf hidup manusia saat ini semakin baik, dimana ditandai dengan tingkat kemiskinan yang berhasil ditekan dan pendapatan perkapita yang naik. Tetapi, bukankah dengan penggunaan sumber pangan untuk energi alternatif akan mengakibatkan cadangan pangan menjadi terganggu? Terlebih dunia saat ini dihadapkan dengan permasalahan pangan. Produksi pangan yang ada saja belum tentu mampu mencukupi kebutuhan konsumsi.

Kita dihadapkan pada permasalahan penambahan fungsi komoditas pangan menjadi sumber energi alternatif. Permasalahannya, kita ada di Negara yang belum mampu menghasilkan bahan pangannya secara mandiri. Jika, jagung, gula, kedelai, beras, gandum saja Indonesia masih perlu mengimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, maka bagaimana mungkin kita akan memproduksi bahan bakar nabati dengan bahan baku yang rakyat kita sendiri masih memerlukan untuk kebutuhan pangan mereka dan bahan baku itu tidak dihasilkan sendiri. Bangsa ini masih dihadapkan pada permasalahan kerawanan pangan. Kebutuhan pangan kita sendiri saja masih mendesak untuk dipenuhi hingga pada posisi aman pangan. Dan apabila komoditas pangan yang terbatas tadi ditambah bebannya untuk bahan baku energi alternatif maka apa yang akan terjadi?
Sudah selayaknya mungkin bangsa ini berfikir lebih arif. Tidak perlu tindakan reaktif yang berlebihan dalam menyikapi keadaan. Memang benar bahwa kita tidak bisa berfikir konservatif dengan menutup semua inovasi menggunakan fakta pesimis. Pengembangan energi alternatif dengan konsep biofuel selayaknya harus kita dukung bersama. Akan tetapi, mungkin lebih baik jika penggunaan bahan pangan sebagai sumber energi alternatif itu dikaji ulang. Akan banyak dampak negatif yang muncul apabila bahan pangan juga menjadi sumber energi alternatif.
Akan lebih baik jika fokus pemikiran diarahkan kepada peningkatan produksi pangan dalam negeri sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada pangan. Sehingga kita akan mampu menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dari sawah-sawah dan ladang di tanah air sendiri. Bangsa ini bisa menghasilkan beras, jagung, kedelai, tebu dari tangan-tangan petaninya sendiri. Sehingga kita akan menjadi bangsa yang memiliki ketahanan pangan kuat dan mandiri pangan. Bukankah disitulah esensi kita sebagai bangsa yang besar akan terlihat.
Mungkin jika negeri ini sudah mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan swasembada barulah implementasi tentang penggunaan komoditas pangan sebagai sumber energi alternatif dikembangkan dengan serius. Namun, sekali lagi akan lebih bijak jika komoditas pangan dikembalikan ke fungsi aslinya yakni sebagai bahan pangan. Tujuannya adalah menjaga keberlangsungan produksi dan keterjangkauan harga. Mengingat kecenderungan dunia sekarang adalah laju alihfungsi lahan pertanian yang semakin mengancam sehingga akan mengancam produksi tanaman pangan.
Manfaatkan Komoditas Non Pangan
Proyek energi nabati harus tetap berjalan. Banyak komoditas pertanian, perkebunan, dan bahan baku lain yang dapat dikembangkan sebagai sumber energi nabati. Negeri ini tak kurang inovator yang mampu membuat inovasi membanggakan guna memecahkan masalah ini. Tanaman-tanaman non pangan dianggap layak untuk kembali dikembangkan dengan dukungan penelitian dan pengembangan. Banyak proyek besar yang terhambat namun harus kembali dijalankan. Biji jarak, kelapa dan komoditas pertanian lain bisa dijadikan alternatif dan sebenarnya telah dikembangkan dengan baik. Banyak lahan tidur, lahan kritis dan lahan sisa penambangan yang dapat dimanfaatkan untuk penanaman komoditas pertanian tadi guna menjadi bahan baku energi alternatif. Sehingga program energi alternatif akan berjalan selaras dengan pelestarian lingkungan dan peningkatan produksi sektor pertanian. Bahkan, proyek kendaraan listrik yang ramah lingkungan dapat diintegrasikan dengan program energi alternatif ini. Sistem transportasi dapat di diversifikasi dengan kendaraan listrik yang dibangkitkan dari pembangkit listrik energi terbarukan. Dimana semua itu merupakan program lintas sektoral yang berbasis pada kemandirian pangan dan konservasi lingkungan

Avi Budi Setiawan
Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang

0 comments:

Post a Comment