Monday, April 21, 2014

Potret Istri Nelayan Pesisir Gempolsewu

Daerah desa gempolsewu merupakan salah satu desa pesisir di kecamatan rowosari Kendal. Sebagai desa pesisir pantura. Praktis tidak ada hal yang berbeda jauh secara fisik dengan kawasan kampung pesisir pantura lainnya. Akan banyak dijumpai beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI), bilik bambu untuk menjemur ikan, jaring nelayan, dan perahu-perahu penangkap ikan. Aktivitas kenelayanan pun dilaksanakan seperti halnya kawasan-kawasan pesisir lain. laki-laki kebanyakan bekerja sebagai nelayan sedangkan istri nelayan biasanya berprofesi sebagai ibu rumahtangga, dan sebagian lagi bekerja untuk memperoleh penghasilan.
Dalam pola kehidupan nelayan di desa gempolsewu, istri nelayan banyak mengambil peran. Baik peran ekonomi maupun peran non ekonomi. Tanpa meninggalkan peran sebagai ibu rumah tangga, istri nelayan juga banyak yang berprofesi sebagai pekerja. Terlebih ada dukungan dari suami apabila istri nelayan juga bekerja, karena nantinya hal itu akan bermanfaat bagi penghasilan keluarga nelayan. Ragam pekerjaan istri nelayan sebetulnya relatif lebih bervariasi dibandingkan suaminya. Apabila suami nelayan kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Maka istri nelayan lebih mengambil peran pada pekerjaan hilir pada peta aktivitas kenelayanan. Seperti menjadi pengolah ikan, pedagang ikan, bekerja pendapatan di luar kenelayanan seperti menjadi pedagang, membuka warung dan lain sebagainya. Ragam pekerjaan istri nelayan yang lebih variatif ini menjadi menarik untuk diteliti. Istri nelayan mampu menjadi back up bagi kehidupan ekonomi rumah tangga di tengah ketidak pastian penghasilan suami. Peran saling mengisi di tengah keterbatasan inilah yang menarik.
Istri nelayan sebenarnya lebih luwes dalam memainkan berbagai pekerjaan, lebih dapat beradaptasi dengan kondisi ekonomi. pekerjaan istri nelayan juga sebenarnya lebih stabil. Karena mereka tidak bergantung pada tuntutan volume produksi yang sangat bergantung pada musim, “ada barang diolah, tidak ada barang ya tidak rugi”. Pekerjaan yang dilakukan istri nelayan juga relatif beresiko lebih rendah daripada pekerjaan kenelayanan yang dilakukan oleh suami nelayan. Walaupun sebenarnya apabila ditelisik lebih jauh jika keadaan normal penghasilan suami nelayan akan jauh lebih besar daripada istri nelayan.

Akan tetapi, peran istri nelayan sebagai ibu rumahtangga juga tidak ditinggalkan sama sekali. Walaupun mereka bekerja pendapatan, aktivitas rumahtangga seperti mencuci baju, memasak, membersihkan rumah dan lain sebagainya selalu dilakukan di tengah-tengah rutinitas aktivitas harian sebagai wanita pekerja. Artinya, alokasi waktu istri nelayan dalam bekerja itu sebenarnya bisa jadi lebih banyak dari suami nelayan. karena mereka juga bekerja pendapatan namun tetap melakukan aktivitas rumahtangga.
Kemampuan untuk melengkapi peran suami nelayan sebagai mesin penghasilan rumah tangga ini merupakan sebuah bentuk fenomena empiris. Apabila pada struktur msyarakat kota, perempuan dituntut untuk bekerja sebagai bentuk aktualisasi diri, namun mereka dibekali dengan pendidikan yang tinggi, akses ke lapangan kerja formal lebih mudah. Tidak demikian pada kondisi nelayan pesisir. Istri nelayan dituntut untuk bekerja tanpa dibekali bekal pendidikan yang tinggi serta kemudahan akses pekerjaan. Artinya, pola pikir telah berubah. Dorongan untuk bekerja muncul sebagai respon akan upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan keinginan untuk beraktualisasi. Istri nelayan mengakui bahwa salah satu motivasi terbesar yang membuat mereka bekerja adalah untuk membantu suami. Sehingga akan terdapat pembagian beban antara suami dan istri terkait alokasi pendapatan. Hal inilah yang menjadi kunci di tengah keterbatasan.
Pekerjaan yang dilakukan istri nelayan cenderung lebih bervariasi meskipun kebanyakan pada sub sistem hilir. Yakni pengolahan ikan menjadi produk-produk yang beragam, menjual kembali ikan tangkapan. Alasan memilih pekerjaan menjual hasil tangkapan ke dalam beberapa variasi produk antara lain disebabkan karena berbagai hal. Bahan baku untuk menjalankan kegiatan usaha relatif mudah didapat dan harganya murah. Pada saat musim melaut, hampir setiap hari nelayan menangkap ikan dan hasil laut lain. sepanjang itu pula pasokan bahan baku untuk usaha yang dibutuhkan istri nelayan akan terpenuhi. Pekerjaan pengolahan hasil kenelayanan juga telah memiliki pasar yang jelas. Istri nelayan tidak akan kesulitan menjual produk yang dihasilkan karena telah banyak pembeli yang akan menampung hasil produksi mereka. selain itu, aktivitas ini juga relatif lebih stabil dan resiko yang lebih rendah.
Faktor lain yang menyebabkan pilihan pekerjaan istri nelaya jatuh pada kegiatan pengolahan ikan, penjualan hasil laut antara lain disebabkan karena keterbatasan kemampuan. Biasanya kemampuan untuk melakuka pekerjaan yang digeluti sekarang adalah karena pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun. Atau belajar secara autodidak dari pengamatan dan dari lingkungan sekitar. Pekerjaan yang ditekuni bukan muncul karena inovasi dan kejelian menangkap peluang. Namun lebih kepada melakukan aktivitas yang bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan.
Berdasarkan pengalaman, selama ini tidak pernah ada hambatan untuk menjual produk yang dihasilkan dari usaha pengolahan dan penjualan hasil kenelayanan yang dilakukan oleh istri nelayan. Selama ini yang menjadi kendala adalah pasokan bahan baku yang tidak kotinyu sehingga akan berimplikasi pada volume produksi dan harga jual produk. Kendala lain adalah faktor alam, yaitu musim. Karena walau tidak langsung musim akan berpengaruh pada pasokan hasil tangkapan nelayan, musim juga akan berpengaruh pada jenis hasil laut yang ditangkap. Kebanyakan usaha kenelayanan yang dilakukan oleh istri nelayan dilakukan di sekitar kawasan pesisir. Apabila usahanya penjualan ikan dan hasil laut lain, maka pada saat musim tertentu mereka tidak akan dapat menjual jenis tangkapan tertentu, bahkan pada saat musim hujan dan badai mereka tidak akan mendapat hasil laut untuk dijual. Belum lagi apabila sering terjadi hujan, maka istri nelayan tidak akan berjualan sebab lapak mereka tak dapat ditempati. Pembeli pun jarang datang. Namun, apabila usahanya adalah kegiatan pengolahan hasil laut maka selain berpengaruh pada pasokan bahan baku, faktor alam akan berdampak pada kegiatan usaha istri nelayan. Apabila musim hujan dan jarang terdapat sinar matahari terik maka teri, ikan asin, terasi akan tidak maksimal diproduksi karena hasil laut kebanyakan dipasarkan dan menjadi bahan baku dalam bentuk kering, yang itu semua membutuhkan sinar matahari.
Kegiatan penjualan hasil ikan misalnya. Bahan baku ikan dan hasil tangkapan segar biasanya diperoleh dari pedagang besar yang membeli dari TPI. Istri nelayan yang menjadi pedagang ikan kecil tidak mampu membeli langsung dari nelayan atau membeli dari TPI karena beberapa hal. pertama, nelayan yang melaut biasanya terlibat perjanjian dengan pedagang ikan besar yang umumnya pemodal untuk menjalankan praktek monopsoni. Hal ini terjadi mengingat kebanyakan nelayan akan membutuhkan modal untuk melaut. Modal seringkali diperoleh dari pinjaman juragan ikan besar dan kompensasi pembayarannya adalah penjualan hasil tangkapan kepada juragan besar tersebut. Pedagang kecil tentu saja akan kesulitan memperoleh ikan hasil tangkapan untuk dijual. Untuk mengikuti pelelangan ikan di TPI pun mereka akan terkendala, sebab ikan yang dilelang biasanya akan dibeli oleh pedagang besar. Maka, pilihan yang diambil adalah membeli dari pedagang ikan besar walaupun nantinya margin keuntungan yang diterima akan kecil. Karena mereka membeli ikan dari orang yang akan menjual produknya pada lokasi yang sama.
Sedangkan untuk kegiatan pengolahan hasil laut yang dilakukan istri nelayan relatif cukup beragam. Kegiatan pengasinan ikan, pemanggangan ikan, pembuatan terasi dan beberapa olahan hasil laut lain sering ditemui di kawasan pesisir. Ketersediaan bahan baku dan jaminan pemasaran menjadi alasan kegiatan usaha ini terus ditekuni oleh istri nelayan. Umumnya seperti pada usaha penjualan ikan, unit usaha pengolahan hasil laut juga memanfaatkan tangkapan dari nelayan setiap harinya. Pengolahan juga dilakukan tidak jauh dari lokasi TPI atau tempat tinggal mereka. untuk kegiatan usaha ini, ketergantungan akan alam terkait pasokan bahan baku dan proses produksi sangatlah tinggi. Aktivitas pengolahan ikan relatif lebih menyita waktu dibandingkan dengan pekerjaan menjual ikan mentah. Istri nelayan sudah harus bangun di pagi hari untuk membeli bahan baku dari penjual ikan atau mengikuti lelang ikan di TPI. Setelah itu mereka akan langsung mengolah bahan baku di lokasi produksi. Ini akan memakan waktu lama, bahkan hingga mendekati sore hari baru dapat selesai untuk esok harinya dijual kepada konsumen. Dan di sela-sela waktu tadi mereka akan menyelesaikan aktivitas rumahtangga dengan dibantu anggota keluarga yang lain.
Dalam bekerja istri nelayan menggunakan lapak sementara. Biasanya lapak dibuka secara lesehan di sekitar TPI dan mereka akan bekerja mulai pukul 5 pagi hingga 9 pagi pada saat lelang pagi dimulai. Karena istri nelayan terlebih dahulu harus membeli ikan dari pedagang besar, mengumpulkan barang dagangan. Kemudian nantinya ketika proses lelang siang hari jam 1 dibuka mereka akan kembali berjualan pukul 1 hingga 5 sore untuk menghabiskan dagangan mereka tadi pagi.
Memang hasil yang diperoleh tidaklah seberapa. Namun untuk pekerjaan yang sifatnya hanya membantu suami saja maka omset yang dihasilkan per hari dapat dikatakan cukup membantu kebutuhan rumahtangga. Tak kurang istri nelayan yang bekerja sebagai penjual ikan dan pengolah tangkapan hasil laut segar dapat menerima penghasilan bersih hingga 100.000 tiap kali ramai dan sekurang-kurangnya 30.000 jika sepi, usaha yang dijalankan juga minim resiko karena apabila ikan habis maka akan disimpan di dalam es dan akan dijual lagi keesokan harinya. Berbeda dengan nelayan tangkap, mereka akan berhadapan dengan resiko alam, resiko ekonomi seperti tidak adanya tangkapan sehingga tidak mampu mencukupi biaya melaut.
Namun, walaupun suami-istri bekerja. Rumahtangga nelayan senantiasa dihadapkan pada permasalahan klasik. Rendahnya kualitas taraf hidup seolah-olah berkorelasi dengan ketidak pastian pendapatan yang diperoleh. Kondisi keluarga nelayan tak ubahnya berada pada jurang kemiskinan dan hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup secara subsistem saja. Walaupun semua elemen dalam rumahtangga bekerja, namun tingginya kebutuhan hidup juga menyebabkan kondisi perekonomian mereka tidak berubah ke arah yang lebih baik.
Selama ini, muncul budaya kolektif yang tumbuh dan berkembang di masyarakat nelayan. Keluarga nelayan umumnya memiliki kenderungan untuk konsumsi yang cukup tinggi. Bahkan ada pepatah entek nggolek yang mengandung filosofi bahwa pendapatan dalam satu hari akan dihabiskan pada hari itu juga. Kebiasaan inilah yang melahirkan budaya konsumsi tinggi di kalangan masyarakat nelayan. Apabila ditelisik lebih lanjut, sebenarnya variasi konsumsi masyarakat nelayan tidaklah banyak. Mereka biasanya tidak menyekolahkan anak hingga pendidikan tinggi. Sehingga investasi pendidikan tidak masuk dalam pos anggaran rutin mereka dalam jangka panjang. Konsumsi tinggi ini mungkin disebabkan karena pekerjaan nelayan yang menyita waktu dan biaya yang besar.
Untuk melaut biasanya nelayan membutuhkan perbekalan dan modal yang tinggi. Apabila mereka tidak memiliki modal yang cukup, maka mereka harus meminjam. Namun, kompensasi dari itu semua adalah hasil tangkapan yang harus melimpah, untuk setidaknya mampu menutupi biaya melaut. Apabila hasil tangkapan mencukupi maka penghasilan yang diterima akan besar. Inilah yang diduga melahirkan budaya konsumsi tinggi. Masyarakat tidak siap menerima uang dalam jumlah yang besar karena tidak tahu cara mengelola dengan baik. Selain itu, pekerjaan melaut yang berat juga melahirkan keinginan untuk menikmati hasil yang jauh lebih tinggi. Kondisi inilah yang membuat pola konsumsi tinggi terpelihara dengan baik. Namun, apabila hasil tangkapan tidak mencukupi maka nelayan pastinya akan mengalami kerugian. Kerugian tentu saja harus ditutup dengan berbagai cara. Setidaknya nelayan harus bisa melaut kembali dengan harapan mendapatkan tangkapan yang lebih banyak. Padahal seperti diketahui bersama, kegiatan kenelayanan sangat tidak pasti, nelayan belum tentu akan mendapatkan hasil ketika melaut. Hal ini yang menyebabkan kondisi keluarga nelayan relative belum sejahtera.
Terkait dengan istri nelayan yang bekerja, kondisi nelayan yang demikian sebenarnya secara tidak langsung akan melahirkan ketergantungan pada sumber pendapatan lain untuk menutup kebutuhan. apabila tidak ada sumber pendapatan lain, maka keadaan ini akan ditutup dengan berhutang. Artinya, sebenarnya ketergantungan kepada istri nelayan sebenarnya lebih dari sekedar back up saja namun juga sebagai motor penggerak ekonomi keluarga. Biasanya penghasilan dari istri nelayan akan dipergunakan untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, akan sangat wajar apabila keluarga nelayan sulit untuk menabung dan merencanakan keuangan keluarga dengan lebih baik. Mengingat struktur pendapatan suami nelayan yang sangat tidak menentu dan beresiko akan kerugian, namun pekerjaan istri nelayan yang sebenarnya lebih stabil tapi kurang menjanjikan. Disaat yang sama, tidak ada perubahan signifikan dalam pola konsumsi dan tabungan.
Memang benar, bahwa selama ini kontribusi istri nelayan terhadap total pendapatan keluarga tidaklah begitu besar. Namun perlu diingat, istri nelayan telah mengambil peran dalam mengurangi ketergantungan rumahtangga terhadap suami nelayan. Memang hal ini belum begitu menolong keluarga nelayan keluar dari jeratan kemiskinan. Akan tetapi sedikit membantu mengurangi ketergantungan akan hutang di saat suami nelayan tidak dapat bekerja maksimal. Kontribusi inilah yang sebenarnya tidak besar secara presentase tapi sangat berarti secara psikologis. Keluarga nelayan yang istrinya bekerja setidaknya memiliki perbedaan mencolok dengan keluarga nelayan yang istrinya tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumahtangga. Bagi istri nelayan yang bekerja, mereka memiliki kemandirian ekonomi, kebebasan untuk mengelola pendapatan. Mengingat manajemen keuangan keluarga seringkali dikelola oleh istri. Sehingga mereka memiliki dua pos pendapatan yang dapat dikelola bersamaan.
Tidak semua istri nelayan bekerja pendapatan. Sebagian istri nelayan juga banyak yang tidak bekerja. Aspek rumahtangga, ketiadaan modal dan sikap hidup pragmatis menjadi alasan yang paling mengemuka. Akan tetapi, ditengah kondisi masyarakat pesisir yang serba kekurangan, kemiskinan yang banyak terlihat itu tak tampak ada disharmonisasi sosial di masyarakat pesisir. Khususnya istri nelayan yang bekerja dan tidak bekerja. Semua saling memahami kondisi satu sama lain. aktivitas sosial kemasyarakatan seperti pengajian, arisan kerukunan tetangga, dan PKK rutin selalu dilaksanakan di kampung pesisir. Walaupun biasanya, istri nelayan yang bekerja tidak akan mampu berpartisipasi aktif mengingat alokasi waktu yang terbatas.
Dukungan pemerintah kepada istri nelayan dalam bekerja pendapatan ini dapat dikatakan sudah ada. Namun, hasilnya belum dapat dilihat dan dirasakan. Pemerintah dengan berbagai keterbatasannya tentu saja akan mengalami kesulitan dalam memberikan dukungan kepada istri nelayan yang bekerja pendapatan ini. Belum ada kesinambungan program pemberdayaan istri nelayan untuk meningkatkan kapasitas taraf hidupnya. Selama ini, semua pihak seolah-olah bekerja sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas. Karena masing-masing memiliki tujuan sendiri. Tak bisa disalahkan, memberdayakan istri nelayan tentu saja merubah paradigma berfikirnya, mengganti kebiasaan lama yang tidak konstruktif, serta membutuhkan modal yang tidak sedikit. Hal in tentu saja akan sangat sulit bagi pemerintah. Program yang seperti apa yang harus diberikan kepada istri nelayan agar dapat berdaya saing. Program yang sudah dianggarkan dengan biaya tinggi akan sangat rentan gagal apabila nelayannya tidak siap untuk menerima programnya. Sedangkan di sisi lain istri nelayan menginginkan program pemberdayaan tanpa mau belajar terlebih dahulu. Seolah ketika program datang mereka akan mendapatkan kompensasi tanpa harus berusaha terlebih dahulu.

0 comments:

Post a Comment